Kisah Muallaf Koko Liem: Terisnpirasi Kisah Nabi Ibrahim

Kisah Muallaf Koko Liem: Terisnpirasi Kisah Nabi Ibrahim

Nama lengkap pria berkacamata ini adalah H. Mohammad Ustman Ansori, SQ, MA, al-Hafidz. Masa kecil, ia memiliki nama Tionghoa Liem Hai Thai, namun sekarang ia lebih akrab disapa Koko Liem. Sebagai muallaf, jalan hidupnya justru masuk di jalur dakwah Islam setelah berproses panjang untuk menemukan fitrahnya dan menekuni ilmu tafsir.

Namanya pertama kali berkibar sejak menjadi finalis dalam ajang Mimbar Dai yang digagas oleh TPI. Lantas ia giat berdakwah tidak hanya dari mimbar dakwah di beberapa daerah tapi juga tampil di berbagai media massa dan radio. Koko Liem juga sering tampil di berbagai acara bernuansa Islami di beberapa stasiun televisi nasional.


Sebagai seorang keturunan Tionghoa, Liem kecil dibesarkan dalam keluarga Budha yang taat. Setiap menjelang magrib, dia bersama keluarganya secara rutin menyembah Pay Pekkong, arwah leluhur dari orang ternama. Ayahnya adalah seorang aktivis Klenteng.

Liem lahir di Dumai, Riau, 17 Januari 1979 dari pasangan bernama Liem Guanho dan Laihua. Liem merupakan anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Perkenalannya dengan Islam terjadi ketika dirinya menginjak kelas dua di sekolah dasar negeri.

Ketika anak-anak non muslim seperti dirinya keluar kelas saat pelajaran agama Islam berlangsung, ia memilih tidak keluar kelas. Liem justru betah mendengarkan kisah Nabi-nabi yang diceritakan oleh guru agama Islam di sekolahnya. Ketertarikannya terhadap Islam pun tumbuh. Liem tetap menjalankan kewajibannya untuk menyembah Pey Pekkong bersama keluarganya.

Menginjak SMP, Liem yang diterima masuk SMP Syeikh Umar, Dumai, tetap melanjutkan pergaulannya dengan Islam melalui kebiasaanya mengikuti pelajaran agama Islam. Liem yang beranjak dewasa, begitu kagum dengan kisah keimanan Nabi Ibrahim AS yang memiliki keteguhan hati menegakkan kalimat Allah meski ditentang orang tuanya.

Kegundahan hati yang kian besar, membuat dirinya bertanya pada sang kakak, Liem Hai Seng. Kakak Liem yang juga muallaf dan mengganti namanya menjadi Muhammad Abdul Nashir ini menyarankan kepada sang adik untuk mengikuti kata hatinya.

Liem mengaku mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam pada usia 15 tahun atau tepatnya 21 Juli 1994. “Setelah masuk Islam, saya terusir dari orang-orang yang saya sayangi. Saya mencoba pulang, namun diusir, begitu seterusnya. Tapi tidak pernah terbersit rasa benci terhadap keluarga saya,” ungkap Liem.

Setelah diusir, seorang ulama Riau bernama KH. Ali Muchsin mengasuhnya. Pengasuh Pondok Pesantren Jabal Nur di Kandis inilah yang mendorong tekadnya untuk menjadi da’i. Usai lulus SMP, Liem melanjutkan ke Pondok Pesantren Daar El Qolam, Balaraja, Banten pada 1995 hingga 1999. “Saya ingin mengenal Islam dengan menjadi penghafal Quran. Alhamdulillah, di tahun kedua setelah saya memeluk Islam, saya sudah hafal al-Quran,” ungkapnya.

Dia lantas melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Tahfizul Qur’an Raudhatul Muhsinin, Malang. Pada tahun 2001, Liem melanjutkan studinya ke Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta hingga lulus 2005. Ia kembali melanjutkan studinya mengambil gelar master pada 2005-2008 di perguruan yang sama dengan mengambil Jurusan Konsentrasi Ilmu Tafsir.

Pada tahun  2001, Koko Liem dianugerahi jodoh dan menikah dengan Ima Ismawati, S.Thi, seorang hafidzah alumni Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Dari pernikahannya, Koko Lim kini dikaruniai dua orang putri.

republika.co.id
Kurban sebagai Wujud Syukur kepada Allah

Kurban sebagai Wujud Syukur kepada Allah

Tidak semata-semata Allah memerintahkan Nabi Ibrahim as memotong putranya yang tercinta, Nabi Ismail as, jika tidak ada hikmah yang terkandung dalam perintah tersebut. Apabila melihat kisah kurban yang terdapat dalam al-Quran yang diperankan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, layaklah kita anggap sebagai peristiwa nyata. Bila ada yang menyatakan hanya simbolik atau tak nyata alias fiktif, berarti telah menganggap kitab suci Umat Islam (al-Quran) tidak benar. Pikiran seperti ini seharusnya segera dijauhkan dari ingatan kita. Sebab kurban jelas sebagai perintah Allah yang tercantum dalam al-Quran surat al-Kautsar ayat 1-2:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ . فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.”

Makna Berkurban
Setiap ibadah dalam agama Islam pasti mengandung makna atau hikmah yang bermanfaat. Begitu pun ibadah kurban. Kurban sebagai ibadah tahunan merupakan ajaran Allah yang memiliki dimensi vertikal (hablumminallah) dan horizontal (hablumminannas). Dimensi vertikal ini bisa diartikan sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah dengan melakukan kurban. Yakni sebagai penghambaan kepada Allah, pada Nabi Ibrahim diwujudkan dengan menyembelih kambing atau sapi, yang dagingnya dibagi-bagikan. Aspek ini sebagai bentuk ajaran sosial dalam Islam (hablumminallah).

Kurban juga bisa dimaknai sebagai penyadaran atas nilai-nilai kebinatangan yang ada pada manusia (diri), sehingga kembali menjadi manusia. Namun ada juga yang memaknainya sebagai upaya untuk mendekat pada Allah. Bila itu yang dipahami dan diyakini, maka ia harus berani mengorbankan yang dicintainya (seperti Nabi Ibrahim as). Tapi pendapat ini argumennya tak begikut kuat. Sebab kalau sebagai keberanian berkurban untuk Allah, bagi seorang hamba yang benar-benar mencintai Allah, kurban seekor kambing atau unta  bukanlah simbol cinta yang bisa disebut besar. Apalagi ini kepada Allah.

Bukan Sekedar Cinta
Menurut dosen ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Ahmad Gibson al-Busthomie, ibadah kurban tidak hanya wujud cinta, tapi juga sebagai syukur atas nikmat yang diberikan Allah pada kita. Jika kita tetap yakin bahwa kurban sebagai wujud cinta, maka sungguh kecil nilainya dihadapan Allah.

Ahmad Gibson memberikan perbandingannya. Jika menyembelih kambing itu sebagai tanda cinta, coba bandingkan antara pengorbanan Nabi Muhammad saw yang mengorbankan dirinya berhadapan dengan orang-orang kafir yang ingin membunuhnya; atau Nabi Ibrahim as yang menyembelih anaknya dengan tangannya sendiri. Bandingkan dengan kita yang hanya mengorbankan seekor kambing atau sapi.

Kalau saja Allah tetap menganggap perngorbanan kita dengan seekor kambing sebagai tanda cinta kita pada-Nya, subhanallah, betapa besarnya Kasih-Sayang (Rahman-Rahim) dan Maha Pengampunan Allah kepada kita. Karena itu, kita harus bertanya pada niat kita sendiri untuk apa kita berkurban? Di situlah letak nilainya. Kemudian jika kita menyadari betapa kecilnya pengorbanan kita terhadap yang kita cintai (Allah), semestinya menjadi salah satu dasar supaya kita menyadari untuk semakin bersyukur. Jujur saja bahwa kita lebih banyak meminta suatu “materi” dibandingkan ungkapan rasa syukur dan minta ampunan. Jujurlah bahwa diri kita tak ada apa-apanya dihadapan Allah. Lantas, jika kita merasa kecil maka berbesar hatilah karena rasa rendah hati di hadapan Allah lebih baik dan benilai ibadah. Karena itu, sudah selayaknya kita bersyukur dengan melakukan ibadah kurban yang diperuntukkan bagi kaum dhuafa dan mereka yang menjadi korban bencana. Itu lebih manfaat dan mashlahat ketimbang diberikan kepada mereka yang sehari-harinya mengonsumsi daging. Insya Allah,

هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ إِلا الإحْسَانُ

Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan.” (QS ar-Rahman [55]: 60).

(Sakinah Oktober 2011)

Kiat Aa Gym: Hati-hati Prasangka

Kiat Aa Gymnastiar
Siapa pun yang menegakkan tauhid, sudah menjadi sunnatullahnya dibenci oleh orang yang bertentangan dengan visinya. Kita lihat Rasulullah. Luar biasa akhlak dan tak ada cacat. Bicaranya benar, janjinya selalu ditepati, gelarnya Al Amin. Ketika mulai menyuarakan Laa ilaaha illallaah, semua berbalik. Yang suka menjadi murka, kawan menjadi lawan, yang dekat menjadi jauh.

Ketika tauhid ditegakkan, maka akan timbul reaksi. Siapa yang reaksinya paling kuat? Yaitu orang yang tidak bertauhid. Yang menuhankan dunia, harta, jabatan, dan kedudukan. Lalu bagaimana sikap Rasulullah? Cuma satu hal, yaitu istiqamah. Konsisten dengan apa yang disampaikannya. Tidak gentar, tidak terpengaruh oleh apa pun. Karena Rasulullah menyampaikan risalah tauhid bukan supaya ditaati orang, tapi membuat orang taat pada Allah. Tapi karena prasangka dan kecintaan pada dunia, semua kesempurnaan yang ada pada Rasulullah seolah menghilang dari orang-orang yang menentangnya.

Ada prasangka, ada fakta. Prasangka itu dilarang oleh Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ...
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa ...” (QS Al Hujurat [49]:12).

Orang yang berpasangka. Allah hujamkan kegelisahan di hatinya. Orang yang berprasangka menjadi buta dan tuli terhadap kenyataan. Yang dia cari bukan kebenaran, tapi pembenaran atas prasangkanya. Makanya, setelah prasangka, orang menjadi tajassus. Mencari-cari yang bukan hak ataupun kewajibannya. Mengorek-ngorek hal yang bukan tanggung jawabnya di dunia dan akhirat. Setelah tajassus, berlanjut menjadi suatu hal yang paling dibenci Allah, paling hina dan menjijikkan, yaitu ghibah. Sesuatu yang dalam Al Quran diumpamakan seperti manusia kanibal.

Berprasangka buruk melahirkan banyak hal buruk. Gara-gara suudzhan terhadap seseorang, tertutup pintu untuk kita mengambil ilmu dan hikmah dari orang tersebut. Gara-gara suudzhan, jadi buruk hati, tajassus, ghibah, dan terhina. Makanya, suudzhan disebut sebagi seburuk-buruk perkataan. Yang Allah senangi itu fakta. Berbuat berdasarkan fakta itu tidak akan berat, akan tenang hatinya.

Dengan husnuzhan, kita bisa melihat banyak hikmah. Kalau suudzhan, dibimbingnya oleh setan.

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ.وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ

“Dan barangsiapa berpaling dari pengajaran Allah, kami biarkan setan menyesatkannya dan menjadi teman karibnya. Dan sungguh, mereka (setan-setan itu) benar-benar menghalang-halangi mereka dari jalan yang benar, sedang mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS Az Zukhruf [43]:36-37).

(Sakinah Oktober 2011)