Tirulah Sifat Jujur Abu Bakar


Tirulah Sifat Jujur Abu Bakar - JUJUR adalah sifat terpuji. Secara naluri, semua orang suka kejujuran. Namun, secara aplikasi, tidak semua orang bisa berlaku jujur. Orang yang berbusa-busa menyuarakan kejujuran, belum tentu berperilaku jujur. Kenapa? Karena jujur tidak cukup ditimbang dengan apa yang diucapkan di lisan seseorang saja. Menyerukan kejujuran harus butuh bukti dalam kehidupan nyata.

Selain itu, menjadikan jujur sebagai karakter yang mengakar di hati, juga menjadi syarat akan kebenaran kejujuran seseorang. Belum bisa disebut orang jujur, manakala tiga komponen ini, hati, lisan, dan perbuatan, belum bersatu-padu dalam diri seseorang, atau dengan bahasa lain masih parsial, dekotomi.
Terkadang ada orang yang jujur hatinya saja, namun lisannya belum mampu mengucapkannya. Atau, lisannya yang mampu berkata jujur, tapi perbuatannya belum bisa membenarkannya. Ada pula, sekedar perbuatannya yang sepertinya melakukan kejujuran, tapi hati dan lisannya mengingkari itu semua.

Tentu perilaku macam ini, yang memisahkan antar komponen tersebut tidak dibenarkan dalam konsep kejujuran. Dan realitas di lapangan, khususnya di negeri kita, justru mala praktek macam ini yang malah menyeruak di tengah-tengah lapisan masyarakat, baik itu rakyat jelata, atau pun para pemimpinnya. Mulai dari pengusaha, hingga bawahan-bawahannya.

Sebagai contoh. Setiap para pejabat disumpah, mereka selalu berjanji dangan sumpah dengan ditandai meletakkan kitab suci masing-masing di atas kepala mereka. Apakah kemudian mereka juga jujur? Buktinya tidak juga. Justru terkadang, di kemudian hari terbongkar tindak pidana korupsinya.

Seorang pelajar (siswa/mahasiswa) yang hampir setiap saat dididik untuk menjadi pribadi yang jujur, namun masih banyak juga ketika ujian mereka menyontek.

Fenomena di atas setidaknya sebagai cermin, bahwa praktek kejujuran belum seutuhnya teraplikasi dalam sebagian besar masyarakat kita dengan benar. Sikap ini terjadi di semua lini di antara kita. Karyawan marketing memark-up kwitansi, sopir memark-up bensin, petugas jalanan “mengutip” pungutan, jaksa, hakim dan petugas hukum juga masih menerima suap. Bahkan orang antri ingin masuk PNS dengan suap. Pegawai korupsi waktu. Semua lini selalu ada korupsi.

Padahal Rosulullah pernah mengatakan, “As-shidqu yahdii ila al-birri” (Kejujuran itu mengarahkan ke pada kebaikkan).

Kisah Abu Bakar

Dalam sejarah, terdapat salah satu sosok manusia yang mampu menampilkan kejujuran yang benar, selain Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam adalah Abu Bakr. Dia merupakan sahabat yang pertama yang beriman ke pada Nabi dari golongan laki-laki dewasa.

Kejujurannya telah teruji semenjak awal dia masuk Islam. Hal tersebut terbukti -salah satunya- di tengah-tengah kaum Quraisy mengingkari dan bahkan menghina Nabi dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Abu Bakr justru menjadi orang pertama yang meyakini kebenaran hal tersebut.

Bahkan, dia berani menantang kaum kafir, bahwa kalau saja ada berita yang lebih dahsyat dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj, maka dia akan mempercayai hal tersebut tanpa sedikitpun meragukannya.

Kejujuran Abu Bakr ini, kemudian terwujud dengan tindakan nyata. Dia tidak pernah meragukan akan apa yang telah menjadi janji Allah dan Rosul-Nya. Dan hal itu setidaknya tergambar dengan keberaniannya menyerahkan kepada Nabi seluruh harta bendanya demi memperjuangkan kejayaan Islam pada suatu peperangan.

“Aku tinggalkan mereka Allah dan Rosul-Nya”. Hanya kalimat singkat ini lah yang terlontar dari lisan Abu Bakr, ketika Rosulullah bertanya tentang apa yang dia sisakan untuk keluarganya, kalau semua kekayaannya dia serahkan fii sabilillah.

Karena kejujurannya ini, yang telah menjadi gaya hidupnya, beliau pun mendapat julukan sebagai As-Shiddiq (orang yang membenarkan). Tidak itu saja, jaminan ‘tiket’ masuk surga secara langsung, pun telah beliau genggam dari Rosulullah. Allahu Akbar !!!.

Lain Abu Bakr, lain pula Abu Tholib. Beliau adalah orang jujur, yang meyakini akan kebenaran ajaran Rosulullah. Selain itu, beliau pun membuktikan akan kejujuran hatinya dengan tindakannya yang selalu melindungi perjalanan dakwah Rosulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (??? ???? ???? ? ???). Sayang hanya karena kurang satu dimensi saja, pengucapan (lisan), perilaku jujur itu pun ‘mandul’, tidak menghasilkan apa-apa di sisi Allah. Dia pun akhirnya mati dalam kekafiran yang tempat kembalinya adalah neraka.
Apa lagi dengan sosoknya Abu Lahab. Secara naluri (Baca: hati) beliau mengakui akan kebenaran risalah Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam. Namun, karena lisannya dan tindakkannya berpaling dari keyakinan hatinya, maka dia pun mati dalam keadaan kafir pula, dan tempat kembalinya adalah neraka.

Dari sini kita bisa mengambil benang merah, bahwa seyogyanya kita mengikuti jejak Abu Bakar dalam mempraktekkan kejujuran kita dalam segala aspek kehidupan. kita harus meyakini bahwa sesuatu yang benar itu adalah benar, tanpa diiringi keraduan sedikitpun. Dan suatu yang salah itu adalah salah. Tidak cukup itu saja, tindakkan kita pun harus menunjukkan hal tersebut, dan terakhir kita pun harus berani mensuarakannya ke pada khalayak umum.

Sebaliknya, jangan sampai kita berperilaku jujur dengan kejujuran ala Abu Thalib, lebih-lebih Abu Lahab. Sungguh perilaku macam ini sama sekali tidak akan membawa keuntungan sedikit pun bagi kita di dunia lebih-lebih di akhirat kelak. Kerana itu kita harus menjauhinya.

Pintu kemunafikan

Lawan dari pada jujur adalah dusta. Dan sampai kapanpun dua hal ini tidak akan pernah bersinergi. Barangsiapa yang berperilaku jujur, maka pasti dia akan menjauhi sifat dusta. Begitu pula sebaliknya, barang siapa yang suka berdusta, maka secara otomatis dia akan memusuhi kejujuran.

Karena demikian, tidak jarang orang yang berperilaku jujur harus menghadapi resiko yang tidak kecil, terlebih jikalau dia hidup di tengah masyarakat yang telah menjadikan dusta sebagai strategi ilegal dalam meraih sesuatu, sebagaimana yang terjadi di negeri kita saat ini.

Sekali pun demikian, kita tidak boleh getir. Perinsip ‘Qul al-Haqqa wa lau kaana murran’ (katakan lah sebenarnya meskipun pahit), harus menjadi prinsip kita.

Biasanya, dusta atau kebohongan dilakukan seseorang untuk berbagai tujuan; misalnya untuk memperoleh keuntungan materi secara tidak fair, untuk membuat kesal atau mencelakakan orang lain, dan adakalanya untuk menutupi kebohongan yang lain.

Implikasi dari kebohongan juga berbeda-beda. Jika kebohongan itu pada hal yang bersifat informasi, implikasinya bisa menyesatkan atau mencelakakan orang lain. Jika kebohongannya pada janji, maka implikasinya pada mengecewakan atau merugikan orang lain. Jika kebohongannya pada sumpah maka implikasinya pada merugikan dan mencelakakan orang lain.

Nabi bersabda; “Sesunggguhnya kebohongan adalah satu di antara beberapa pintu kemunafikan, innal kizba babun min abwab an nifaq.”

Jadi orang yang melakukan kebohongan dan dusta berarti sedang berada dalam proses menjadi seorang munafik. Kata Nabi, tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; (1) jika berkata, ia berdusta, (2) jika berjanji, ia ingkar dan (3) jika diberi kepercayaan, ia berkhianat.

Jika kebohongan dan dusta merupakan pintu kemunafikan, maka kejujuran merupakan pintu amanah. Sebagai contoh, Nabi memiliki sifat siddiq (benar dan jujur), maka sifat lain yang menyertainya adalah amanah (tanggungjawab), fathanah (cerdas) dan tabligh (menyampaikan secara terbuka apa yang mesti disampaikan).

Kebalikannya, dusta (kizib) akan diiringi oleh sifat curang (khiyanah), bodoh, yakni melakukan perbuatan bodoh (jahil) dan menyembunyikan apa yang semestinya disampaikan secara terbuka (kitman).

Rasulullah mengatakan, "Seorang mukmin memiliki tabiat atas segala sifat aib, kecuali khianat dan dusta." (HR. Al Baazaar)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud r.a, dari Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Hendaklah kalian bersikap jujur karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan dapat mengantarkan ke surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur sehingga ditulis sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta dapat menyeret kepada kejahatan dan kejahatan dapat menyeret ke dalam neraka. Sesungguhnya seseorang senantiasa berdusta hingga ditulis di sisi Allah sebagai pendusta." (HR Bukhari [6094]). Mudah-mudahan kejujuran kita membawa ke surga yang dijanjikan.
Pengemis Buta Yahudi Bersyahadat karena Kemuliaan Akhlaq Rasulullah

Pengemis Buta Yahudi Bersyahadat karena Kemuliaan Akhlaq Rasulullah

Pengemis Buta Yahudi Bersyahadat karena Kemuliaan Akhlaq Rasulullah - Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata

“Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya”.

Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat.
Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.
Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya,

“anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan”,

Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, “Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja”.

“Apakah Itu?”, tanya Abubakar r.a.

Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana”, kata Aisyah r.ha.

Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya.

Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, “siapakah kamu ?”.

Abubakar r.a menjawab, “aku orang yang biasa”.

“Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata,

"benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia…." Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.

Subhanallah Begitu Mulia Akhlak Rasulullah SAW...
Semoga Artikel Diatas Bermanfaat...

sumber: http://www.facebook.com/SudahTahukahAnda
Mangkuk, Madu, dan Sehelai Rambut

Mangkuk, Madu, dan Sehelai Rambut

Suatu hari Rasulullah saw berkumpul bersama sahabat-sahabatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Shahibul Bait, Ali bin Abi Thalib., Istri Ali, Fathimah yang juga putri Rasulullah saw, menghidangkan madu untuk mereka yang sedang berdiskusi. Madu itu diletakkan di dalam sebuah mangkuk yang sangat indah.

Ketika madu dihidangkan, Rasul mendapati sehelai rambut di dalamnya, Rasul diam sejenak dari diskusi. Daripada membincang apalagi menuduh rambut siapa, kecerdasan Rasul kemudian membelokkan tema diskusi, dengan meminta semua sahabat membuat tamsil terhadap mangkuk yang indah nan cantik, madu, dan sehelai rambut.
Abu Bakar r.a. mengawali, "Iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Orang yang beriman itu lebih manis dari madu ini, dan mempertahankan iman jauh lebih sulit dari melewati sehelai rambut."

Umar r.a. berkata, "Kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Seorang raja lebih manis dari madu. Raja yang memerintah dengan adil lebih sulit daripa meniti sehelai rambut."

Utsman r.a. berkata, "Ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu. Dan beramal dengan ilmu yang dimilikinya lebih sulit daripada meniti sehelai rambut."

Ali r.a. berkata, "Tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Menjamu itu lebih manis daripada madu. Membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumahnya adalah lebih sulit daripada melewati sehelai rambut."

Fathimah juga berkata, "Seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk cantik. Wanita yang berjilbab itu lebih manis dari madu. Mendapatkan wanita yang tak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit daripada melewati sehelai rambut."

Selanjutnya Rasulullah saw berkata, "Seorang yang mendapat taufik untuk beramal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Beramal dengan amal yang baik itu lebih manis daripada madu. Berbuat amal dengan ikhlas lebih sulit dari melewati sehelai rambut."

Malaikat Jibril berkata, "Menegakkan pilar-pilar agama lebih cantik dari mangkuk yang cantik. Menyerahkan diri, harta, dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu. Mempertahakan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit daripada melewati sehelai rambut."

Allah SWT berfirman, "Surga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu. Nikmat surga-Ku lebih manis dari madu itu, jalan menuju surga-Ku lebih sulit daripada melewati sehelai rambut."

Diskusi Rasulullah saw yang dapat kita jumpat dalam The Secret of Kisah-kisah Teladan, Sumber Inspirasi dan Penyejuk Hati, karya Abdul Aziz S (2011) sengaja penulis angkat dalam kisah Ramadan, karena memiliki makna yang sangat komprehensif dan holistik.

Konvergensi antara akhlak dan kecerdasan Rasulullah saw dalam menyikap persoalan ringan, menjadi pintu bagi para sahabat untuk mengeluarkan nalar-nalar yang berbobot. Abu Bakar bicara hal yang paling fundamen, yaitu iman dan hati. Umar bicara soal nafsu dan kekuasaan. Utsman mengenai nalar keilmuan. Ali tentang etika, akhlak atau perilaku, dan Fathimah soal syariat. Semua sangat urgen dan harus ditegakkan meskipun berat, itulah jalan menuju surga Allah SWT.

Bila kita renungkan, tamsil yang disodorkan oleh para sahabat, sesungguhnya sebuah resume dari kehidupan manusia.

(Samsul Ma'rif, S.Ag dalam PR 25 Agustus 2011)