Ruh

Ceramah singkat Mendiskusikan ruh sampai saat ini akan menjadi masalah yang terus berkembang dan masih saja misterius, mungkin hal seperti ini akan terjadi selamanya, atau barangkali otak kita tidak dipersiapkan untuk mencapai titik pembahasan detail untuk menjelaskannya dan bisa jadi memang seharusnya misterius kemudian perlu diyakini saja tidak usah dibuktikan secara faktual, cukup hanya dalam alam ide saja bukan dialam nyata, karena memang ruh bukan barang yang nyata. Namun bukan berarti berhenti untuk mengali informasi tentang ruh tersebut.

Pertanyaan yang paling mendasar adalah, fisik atau tubuh manusia itu apakah hanya seonggok daging bongkahan yang disusun sedemikian rupa dan didirikan oleh susunan rangka terbuat dari tulang belulang, didalamnya ada immateri yang menggerakkannya yang disebut dengan ruh? Pertanyaan dasar ini harus dicarikan dalih yang menguatkannya

Dalam diri manusia ada dua dimensi yang tak terpisahkan antara jasad dan ruh, keduanya apabila terpisah maka akan menjadi sesuatu yang sangat berbeda dalm bentuk maupun fisiknya, kedua dimens tersebut sejalan dengan firman Allah

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ.
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya ruh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. Sajdah: 9)

Dalam ayat diatas seteleh Allah meniupkan ruhnya ke dalam jasad kemudian dilanjutkan dengan penciptaan anggota badan, hal ini tentu menunjuk kepada penggunaan penglihatan, pendengaran yang terjadi setelah ruh itu ditiupkan, begitulah pendapat sebagian mufassir, seolah-olah ayat tersebut memberikan pengertian bahwa sumber penggeraknya adalah ruh, ibarat mobil maka sopir adalah ruhnya sopir yang mengggerakan laju cepat dan tidaknya sebuah mobil, bila ruh tidak ada maka mobilpun tidak bisa bergerak, wallahu a’lam bis shawab

Dalam filsafat Islam, badan berperan sebagai kendaraan ruh, aktifitas yang dilakukan oleh anggota badan hakikatnya bersumber dari ruh seperti melihat, mendengar, mencium dan mencecap rasa sedangkan yang berbentuk fisik berupa mata, telinga, hidung, lidah hanya sekedar alat perantara untuk mengetahui masalah-masalah ini. Oleh karena itu fisik bisa dibantu dan diganti dengan yang lain berbeda dengan hakikat ruh yang bersifat abadi. Seandainya ada seseorang yang pandangannya terganggu karena pergeseran retina maka ia bisa dibantu dengan kacamata untuk merekayasa pergeseran retina tersebut, seseorang yang mengalami masalah pendengaran bisa dibantu dengan alat bantu dengar, hal ini berbeda dengan ruh yang apabila telah hilang berpisah maka tidak ada yang bisa menggantikannya. Itulah gambaran hubungan antara ruh dan jasad

فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ.
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (QS. Al Hijr: 29)

Dalam kedua ayat diatas, ada kata “ruh ku”, kata tersebut tentu pemahamannya adalah bukan ruh Allah karena Allah tidak butuh dengan ruh, akan tetapi penyandaran kata ‘ruh’ dan ‘aku’ hanyalah sebuah penyandaran untuk mengagungkan, seperti halnya kita menyebut baitullah (rumah Allah), Syahrullah (bulannya Allah) kesemua ini disebut untuk memulyakan danmembesarkannya agar mendapat perhatian yang lebih dari mustami’ atau orang yang membacanya.
Ada ayat lain yang mengisyaratkan tentang wujudnya ruh:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا.
dan nafs (jiwa, ruh) dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, (QS. As-Syams:7-8)

Dalam ayat di atas ruh memiliki pemahaman sehingga diberikan ilham pemahaman atas kebaikan dan keburukan. Mengingat pada manusia tidak terdapat satupun anggota badan yang bisa memahami sesuatu selain ruh, maka yang layak memiliki pemahaman adalah kekuatan selain materi yang disebut oleh al-Quran dengan ruh atau nafs.
-----------------------------------------------
Rekomendasi ceramah singkat kepada anda untuk membaca juga 
  1. di tantang maut
  2. hidup adalah penyesalan

Sepertiga Kehidupan Manusia

Ceramah Singkat Ada riwayat yang mengatakan bahwa Luqman al-Hakim berwasiat kepada anak-sepertiga kehidupan manusia  didistribusikan ; sepertiga untuk Allah, sepertiga untuk dirinya dan sepertiga lagi untuk cacing tanah”. Nasehat di atas kelihatannya sangat simpel tetapi menacakup semua kehidupan dalam istilah manthiqy disebut jami’ mani’ isi kehidupan secara keseluruhan ini tercakup dalam nasehat tersebut, sepertiga untuk Allah adalah ruhnya, sepertiga untuk manusia adalah amalnya. Dan sepertiga untuk cacing tanah adalah jasadnya setelah mati.
anaknya: ”wahai anakku...! sesungguhnya dalam kehidupan ini,

Secara lengkap dan penjabarannya tentang sepertiga kehidupan manusia adalah sebagai berikut:

عن لقمان الحكيم أنه قال لإبنه
: يابني إن الناس ثلاثة أثلاث ثلث لله وثلث لنفسه وثلث للدوده, فأماما هو لله فروحه , وأماماهو لنفسه فعمله , وأماماهوللدود فجسمه

Sepertiga untuk Allah
Dalam pesan tersebut juga mengandung makna, bahwa Allah tidak menghendaki apapun kecuali kembalinya ruh (penghidupan) kepada Allah setelah menjalankan perannya sebagai khalifatullah dengan bersih, kebersihan ruh ini diminta untuk bersih seperti pada saat Allah meniupkannya kedalam diri manusia semenjak di kandungan usia 120 hari, Syukur-syukur jika bisa berpulang ke haribaannya dengan membawa banyak amal perbuatan.

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. As-Sajdah: 9)

Allah tidak menuntut apa yang engkau pakai, perhiasan sekelas apapun bagi Allah adalah sama tidak ada bedanya. Allah hanya menuntut kembalinya ruh dalam keadaan bersia seperti sedia kala. Kalau kita renungkan tentu sangat wajar sekali jika Allah hanya menuntut kembalinya kesucian ruh bukan perhiasan atau pakaiannya, karena pada saat lahir Allah tidak menyertakan pakaian dan perhiasan. Walaupun seiring perjalanan hidupnya kemudian Dia-lah Yang Maha Memberi makan, minum dan pakaian, tugas utama manusia adalah menghamba kepada Allah dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan.

Sumber yang mendorong manusia untuk berbuat baik adalah kejernihan hatinya, karena itulah Nabi bersabda, bahwa Allah tidak melihat secara fisik tetapi melihat hati hamba-Nya.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَ رِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah Abdirrahman bin Syahrin radhiyallahu ‘anhu, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian.” (HR. Muslim)

Sepertiga untuk Diri
Isi nasehat yang kedua adalah sepertiga untuk dirimu, yaitu amalmu. Dalam panggung kehidupan ini milik pribadi yang hakiki yang dapat dinikmati dan menemani seorang hamba hingga menghadap kepada Allah adalah amal perbuatannya. Harus diyakini bahwa di alam ‘sana’ tidak kenal rekayasa sedikitpun, semua hamba Allah disetting sedemikian sehingga menjadi pribadi yang sanat jujur tidak mampu berbohong sedikitpun, karena yang berbicara tidak lagi lisan tetapi semua yang ada di sekeliling kita akan menjadi saksi

Alat komunikasi berupa lisan yang dipakai saat ini di akhirat akan dikunci dan anggota tubuh lainnya menjadi saksi, saat itulah amal perbuatan di dunia menjadi bagian dari diri kita, yang membela dan mengantarkan kepada kebahagiaan sejati nan abadi. Amal yang baik akan dibalas dengan kebaikan sebaliknya amal yang buruk akan dibalas dengan siksaan, hal ini bersifat pasti, Allah berfirman

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ.
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (QS. Yaasin: 65)

Sepertiga untuk Cacing Tanah
Adapun sepertiga dari kehidupan ini adalah untuk cacing tanah, yaitu jasad kita, kita bekerja setiap hari untuk merawat fisik agar tetap sehat dengan nutrisi yang seimbang, tetapi pada saatnya nanti setelah pulang keharibaannya dan seonggok badan ditidurkan di dalam tanah untuk selamanya ia akan menjadi santapan cacing tanah.

Harga fisik ketika hidup yang sedemikian mahalnya, seperti jantung, ginjal, usus dan organ fisiologi lainnya, ketika telah berpisah dari ruhnya seketika berubah menjadi murah dan hanya menjadi bahan rebutan bagi cacing tanah, dalam arti tampan dan kemolekan hanya menjadi hiasan duniawi saja, apalah artinya sekeping wajah ia hanya menjadi hiasan yang bersifat sementara dan tidak lama.

Coba lihatlah Bilal bin Rabbah dengan kulitnya yg hitam, lihat pula Amr bi Jamuh dengan kakinya  pincang, Abdullah bin Ummi Maktum dengan kebutaan penglihatan. Mereka mulia di sisi Rabbnya, Rasulullah mengakui keutamaan mereka. Bukan karena tampannya atau cantiknya rupa, bukan pula karena sempurna anggota badannya. Namun semuanya karena kesetiaan pada ikrar syahadat yang diucapkan, kepatuhan pada aturan syariat, melaksanakan kewajiban tanpa keengganan, dan ketaqwaan yang menghunjam sanubari tanpa lekang.

Oleh karena itu tak ada sediktipun yang patut dibanggakan dalam kehidupan ini bila orientasinya kepada fisik, karena hidup yang sesungguhnya adalah non-fisik, hidup yang abadi adalah hidup sesudah kematian dan kehidupan untuk alam sesudahnya, itulah sepertiga kehidupan manusia.

Anak Yatim Menjadi Orang Hebat

ceramah singkatAdmin ceramah singkat kali ini akan mengemukakan fakta bahwa anak yatim menjadi orang hebat, terkenal dan ternama di dunia. Mungkin kita bisa katakan paling malang di dunia ini adalah anak yatim, karena anak yatim statusnya tidak tergantikan, meskipun telah mendapatkan bapak pengganti, yang pasti akan berbeda dengan bapak biologis aslinya, dari kasih sayangnya, ketulusan hingga tanggapan sang anak terhadap status ayah ‘penggantinya’ itu sendiri, namun bukan berarti status tersebut jadi penghalang kesuksesan anak tersebut, di bawah ini adalah fakta bahwa anak yatim pun bisa menjadi orang hebat. Mungkin kalau dari kalangan Nabi kita sudah bayak tahu, termasuk nabiyullah agung Nabi Muhammad saw, yang sudah yatim semenjak beliau masih di kandungan Ibunda Siti Aminah

1. Imam Muhammad bin Idris Syafi’i
Salah satu fakta yang membuat mata ini terbelalak dan cakrawala pikiran kita tercengang adalah apabila membaca sejarah biografi Imam Syafi’i, Beliau adalah yatim berkepribadian teguh dan berprinsip kuat dimana tahun lahirnya bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah (la-hanafiy) yaitu tahun 150 dan wafat tahun 204 H, di lahirkan di Ghuzzah atau sekarang dikenal dengan jalur Gaza Palestina.

Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin as-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hisyam bin al-Mutallib bin Abdu Manaf bin Qushaiy bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luaiy bin Ghalib al-Qurasyi asy-Syafi’i. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah Saw. pada Abdu Manaf.

Ayahnya meninggal ketika ia belum genap berusia dua tahun, kemudian hijrah ke tanah leluhurnya yaitu Makkah, dengan modal hafalan yang kuat dan kegigihannya sejak usia 5 tahun ia sudah hafal al Qur’an, seungguh sebuh prestasi yang sangat mengagumkan, kecerdasannya yang sangat luar biasa itu ia pun mampu menghafal banyak syair Arab dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan agama, tak heran jika diawal usia baligh yaitu 15 tahun ia sudah menjadi mufti d makkah.

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru ilmu fiqih kepada mufti kota suci itu, Muslim bin Khalid az-Zanji. Karena ketekunannya, semua ilmu fiqih dilalapnya dengan cepat. Ia juga cerdas dan benar-benar seorang yang berbakat menjadi mufti. Sekali lagi ini merupakan pencapaian yang sangat luar biasa, meski demikian ia tidak lekas puas, kemudian ia melanjutkan menuntut ilmu ke madinah, pada masa itu terdengar seorang alim pendiri Madzhab Maliki yakni Imam Malik bin Anas, kemudian ia berguru kepadanya, ia menghafal al-Muwaththa’, kitab tebal yang berisi ribuan hadits disusun oleh Imam Malik, dalam tempo sembilan hari ia hafalkan.

Setelah menyerap ilmu dari Imam Malik, lantas pergi ke Yaman dan kemudian ke Baghdad mennimba ilmu ke Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama besar madzhab Hanafi dan murid langsung Imam Nu’man bin Tsabit al-Hanafi (Imam Abu Hanifah). Saking cerdasnya itulah sehingga Imam Ahmad bin Hanbal, murid Imam Syafi’i saat di Makkah memberikan testimoni, “Beliau adalah orang yang paling faqih dalam al-Quran dan as-Sunnah. Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di leher asy-Syafi’i.”

2. Imam Ahmad bin Hanbal al-Mubajjal
Imam Ahmad bin Hanbal lahir pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 780 H di Baghdad. Ketika masih kanak-kanak, ia sudah ditinggal sang ayah selamanya. Sejak itu, dibawah asuhan Ibunya ia belajar dengan tekun berbagai disiplin ilmu pengetahuan agama, menghafal Qur’an dan hadits dan pada saat menginjak usia 20 tahun rihlah ‘ilmiyahnya di mulai dari Mesir menuju Kuffah, Makkah, Madinah, Syam, Yaman, dan kembali ke Baghdad.

Status yatim justru memecu dan membuat keteguhan hatinya menjadi bertambah wal hasil ia menjadi pribadi yang kuat dan berpendirian teguh, terbukti pada saat berhadapan dengan Khalifah al-Makmun al-Abbasi tahun 212 H yang menganut faham Mu’tazilah memaksaka Ibn Hambal untuk mengakui mengakui bahwa al-Quran adalah makhluk, namun pendiriannya tetap kokoh tidak goyah sedikitpun. Meskipun ia harus dipenjara karena berlainan dengan penguasa pada waktu itu. Sejak itu pula ia harus rela mendekam di penjara.


3. Imam Sufyan Ats-Tsauri
Anak Yatim pun bisa menjadi orang hebat itulah kata yang tepat, diantaranya lagi adalah Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id bin Masruq bin Habib bin Rafi’. Ayahnya meninggal pada saat beliau masih berusian 9 tahun, Ia lahir di Kuffah pada tahun 97 H/715 M. Kakeknya termasuk salah satu tabi’in terkemuka dan ikut bersama Sayyidina Ali bin Abi Thalib dalam Perang Jamal. Ayah Sufyan adalah salah satu ulama Kuffah. Hal ini yang mungkin menjadikan Imam Sufyan ats-Tsauri sudah menuntut ilmu ketika dirinya masih belia.

Ayahnya meninggal dunia ketika ia belum genap berusia sembilan tahun. Di bawah pengasuhan ibunya tidak lantas anak ini menjadi minder tetapi dengan arahan yang tepat kelak ia tumbuh menjadi ualam’ besar di Kuffah, terbukti pada suatu hari, ibunya menjual hasil tenunannya seharga 10 dirham kemudian uangnya diberikan kepada Sufyan Tsauri untuk menuntut ilmu seraya berpesan; “Putraku, ini ada uang sepuluh dirham. Pergi dan gunakanlah uang ini untuk belajar hadits di masjid. Kemudian perhatikan, jika kamu melihat apa yang kamu pelajari memiliki pengaruh terhadap akal, hati dan perbuatanmu, datanglah kemari lagi. Nanti akan Ibu beri uang sepuluh dirham lagi untuk kamu gunakan menuntut ilmu. Namun, jika kamu tidak menemukan pengaruh tersebut, tinggalkan saja ilmu itu, karena ilmu tidak bersedia ikut kecuali dengan orang yang ikhlas, tulus dan sungguh-sungguh.”

Sejak kecil, Sufyan sangat bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan sangat menonjol di dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, terutama di bidang hadits dan fiqih, sehingga namanya melambung dalam dunia Islam khususnya, sejajar dengan ulama’ sekaliber Imam Malik sebagai ulama’-nya penduduk Madinah, Imam Abdurhman al-Auza’i di Syam, Imam Sufyan ats-Tsauri adalah ulama’nya penduduk Kuffah. Jumlah hadits yang diriwayatkan Imam Sufyan tak kurang dari 30 ribu hadits. 

Diceritakan oleh Yahya bin Yaman, ia telah meriwayatkan 20 ribuan hadits yang melalui Sufyan ats-Tsauri. Sedangkan dalam bidang fiqh Sufyan Tsauri terkenal dengan kemampuan berijtihadnya yang banyak mengandalkan logika qiyas, beliau sangat berhati hati dalam memutuskan masalah, tak jarang orang orang harus menunggu lama dalam meminta fatwanya karena saking hati-hatinya, yang pasti tidak seperti ustadz badrol yang terkesan lebih dekat dengan dunia infotainmen ketimbang keilmuan dan keulamaannya.

Selain tokoh-tokoh di atas, masih banyak yang menunjukkan kisah bahwa anak yatim menjadi orang hebat misalnya Imam Bukhari, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan para pakar ilmu-ilmu Islam lainnya.