Loading...
Tampilkan postingan dengan label Fiqih Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih Islam. Tampilkan semua postingan

Rahasia di Balik Dilarangnya Berhubungan Badan Ketika Haid

"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(Al-Baqarah 2:222)

*****


Tidak sedikit pasangan yang melakukan aktivitas seksual saat si wanita sedang mengalami menstruasi / haid. Padahal pada masa ini berhubungan seks bisa sangat berbahaya. Mengapa?
Laura Berman, PhD, seorang pakar seks dan terapis dari Feinberg School of Medicine, Northwestern University, Chicago mengatakan, setelah dengan berbagai macam penelitian, berhubungan seks saat haid ternyata dapat merugikan kesehatan kedua pasangan. Beberapa risiko kesehatan yang bisa terjadi akibat melakukan seks saat haid antara lain:

1. Penyakit Menular Seksual

Saat wanita mengalami menstruasi leher rahim akan terbuka. Terbukanya leher rahim tersebut dapat mempermudah kuman dan bakteri masuk bahkan menyebar hingga ke rongga panggul. Wanita juga berpotensi tertular virus HIV dan hepatitis jika melakukan hubungan seks saat menstruasi.

2. Risiko Infeksi

Saat menstruasi, dinding vagina akan mengalami inflamasi atau pembengkakan sebagai proses alami tubuh. Saat inflamasi terjadi, lapisan dinding rahim akan mengalami peluruhan berbarengan dengan keluarnya darah haid. Darah tersebut merupakan media yang berpotensi mengembangkan kuman dan bakteri yang bisa mengakibatkan infeksi saluran kencing, sperma, dan prostat pada pria.

3. Endometriosis

Istilah tersebut pasti masih asing di telinga Anda. Endometriosis mengacu pada pertumbuhan sel-sel di luar endometrium (dinding rahim) atau di tempat lain. Dalam tingkat lanjut pertumbuhan sel-sel tersebut akan memicu rasa nyeri saat haid, atau biasa disebut dengan dismenore.

Salah satu faktor penyebab endometriosis adalah regurgitasi atau aliran balik darah haid dari dalam rahim ke saluran indung telur dan masuk ke dinding perut. Ini dapat terjadi jika Anda melakukan hubungan seks saat haid.

Tak hanya itu, risiko infeksi juga semakin meningkat baik pada pria maupun wanita. Tingkat keasaman dan kemampuan lendir vagina untuk melawan bakteri saat berhubungan seks akan mengalami penurunan, sehingga berpotensi mengembangkan bakteri dan kuman yang membahayakan kesehatan.

4. Sudden Death (mati mendadak)

Gerakan saat berhubungan seks di masa haid juga bisa menjadi pemicu terjadinya gelembung udara ke pembuluh darah yang terbuka. Para ahli medis mengkhawatirkan, jika emboli atau gelembung udara tersebut masuk ke dalam pembuluh darah maka akan mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah dan bisa mengakibatkan “sudden death” atau mati mendadak.

*****

Jika orang Barat baru tahu bahayanya setelah dengan berbagi penelitian, dan memutuskan tidak melakukan hubungan badan saat istri sedang haid, , Islam justru sejak 14 abad yang lalu sudah melarang berhubungan badan saat istri sedang haid. Sungguh dibalik pelarangan itu ternyata ada hikmah dan manfaat yang ada didalamnya. salah satu bukti kebenaran kandungan AlQuran. Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Subhanallah (^_^)

Semoga Bermanfaat

sumber: https://www.facebook.com/pages/Dunia-Kesehatan/536605306359826

Dosa yang Lebih Besar dari Zina


Suatu senja, seorang wanita melangkahkan kaki mendekati kediaman Nabi Musa. Setelah mengucapkan salam, dia masuk sambil terus menunduk. Air matanya berderai tatkala berkata, “Wahai Nabi Allah, tolonglah saya. Doakan agar Allah mengampuni dosa keji saya.”

“Apakah dosamu wahai wanita?” Tanya Nabi Musa. “Saya takut mengatakannya,” jawab wanita itu. "Katakanlah, jangan ragu-ragu!” desak Nabi Musa. Maka perempuan itu pun dengan takut bercerita, “Saya telah berzina.” Kepala nabi Musa terangkat, hatinya tersentak. “Dari perzinaan itu saya hamil. Setelah anak itu lahir, langsung saya cekik lehernya sampai mati,” lanjut perempuan itu seraya menangis.


Mata Nabi Musa berapi-api. Dengan muka yang berang dia menghardik: “Perempuan celaka, pergi dari sini. Agar Siksa Allah tak jatuh ke dalam rumahku. Pergi...!!!” teriak nabi Musa sambil berpaling karena jijik. Hati perempuan itu bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh.

Dia menangis tersedu-sedu dan keluar dari Rumah Nabi Musa. Ia Tak tahu harus kemana lagi mengadu. Bahkan dia tak tahu ke mana harus melangkahkan kaki.

Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana manusia lain bakal menerimanya? Sepeninggalnya wanita tersebut, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa.

Jibril lalu bertanya, “Mengapa engkau menolak seorang wanita Yang hendak BERTAUBAT dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar dari itu?”

Nabi Musa terperanjat. “Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?”
“Betulkah ada dosa yang lebih besar daripada perempuan yang hina itu?” Tanyanya. “Ada...!!!” jawab Jibril dengan tegas. “Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar daripada SERIBU kali Berzina.” Mendengar penjelasan ini Nabi Musa memanggil wanita tadi, lalu berdoa memohon ampunan kepada Allah. Nabi Musa menyadari, Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa penyesalan seakan menganggap remeh perintah Allah. Sedangkan BERTAUBAT dan menyesali Dosa dengan sungguh- sungguh berarti masih mempunyai IMAN di dadanya dan Yakin Allah itu ada.

http://www.facebook.com/SudahTahukahAnda?fref=ts
Akhlak Dulu atau Jilbab Dulu?

Akhlak Dulu atau Jilbab Dulu?

Dari dulu hingga sekarang pertanyaan ini mungkin sering terjadi, terutama oleh mereka para muslimah yg belum mengerti betul makna arti berjilbab. untuk disini penulis akan sedikit membahas tentang berjilbab.

Kebenaran itu murni datangnya hanya dari Allah, jika ada kekurangan, salah dan khilaf itu jelas dari hamba yg dhoif ini, mohon koreksinya.



Bismillah....

"Katakanlah kpd wanita yg beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yg (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra2 mereka, atau putra2 suami mereka, atau saudara2 mereka, atau putra2 saudara perempuan mereka, atau wanita2 Islam, atau budak2 yg mereka miliki, atau pelayan laki2 yg tdk mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak2 yg belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yg mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kpd Allah, hai orang2 yg beriman supaya kamu beruntung." {QS. An-Nur:31}

Terinspirasi dr sebuah tulisan Ust. Abu Yahya (Salah seorang pembicara Kajian Aqidah MQ FM) yg berjudul "Mana yg Lebih Dulu? AKHLAQ DULU APA JILBAB DULU? KHUSYU' DULU APA SHOLAT DULU?" Jg kajian oleh Ust. Tsalits Daarut Tauhid beberapa tahun yg lalu...
Sering kita mendengar kisah, "Ah, saya mah belum siap berjilbab, mau memperbaiki akhlaq dulu". Atau ada yg mengatakan, "Saya belum bisa khusyu'/tenang jadi sholat jg percuma, ntar klo udah bisa khusyu'/tenang baru sy akan sholat".

Benarkah kata2 itu diperkenankan ?? Tau nggak sih? Bahwa sesungguhnya memakai jilbab (bagi perempuan), sholat dan puasa (Ramadhan) itu merupakan basic (dasar) bagi seorang Muslim. Logikanya, jika dasarnya (Sholat, puasa, jilbab bg muslimah) saja tdk benar, lalu bagaimana dgn amalan lainnya???

Dalam Islam pembelajaran menjadi baik dimulai dari aspek lahir lalu meningkat ke penghayatan bathin. Dan baru dari penghayatan bathin yg lebih lanjut ini lah ya akan membawa kita semakin baik dari waktu ke waktu.
(Insya Allah) Orang2 Arab Badui itu berkata: "Kami telah BERIMAN".
Katakanlah (kepada mereka) "kamu belum beriman, tetapi katakanlah "kami telah TUNDUK (Islam)", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kpd Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang" {QS. Al-Hujuraat:14}
Dari ayat tersebut menerangkan bahwa sebelum iman itu masuk ke dalam hati orang2 Arab tersebut, mereka telah mengakui Islam trlebih dahulu sbg aspek lahiriyah. Dgn pernyataan itu pun darah mereka menjadi terpelihara (haram untuk dibunuh) jadi, kalau lahirnya saja sudah menyimpang (baik, ucapan, perbuatan, ataupun tulisan) maka tdk ada artinya berkilah dgn, "yang penting kan hatinya" justru dgn sholat hati kita akan menjadi tenang, dgn sholat hati kita akan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar, dgn
menggunakan jilbab kehormatan kita akan menjadi lebih terjaga, dan dgn berpuasa akhlaq kita dapat lebih terpelihara. Jadi, perkataan2 seperti yg demikian tadi seharusnya tdk diperkenankan. Dan mari kita perbaiki ucapan dan penampilaan lahir kita. Insya Allah, Dia akan membimbing kita dan mengampuni kesalahan2 kita.
Aamiin...

"Hai orang2 yg beriman, bertaqwalah kamu kpd Allah dan katakanlah perkataan yg benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan2mu dan mengampuni bagimu dosa2mu. Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yg besar" {QS. Al-Ahzab: 70-71}

Tapi,,, sekarang masalahnya ternyata melakukan perubahan itu gk mudah. Ya gk ? Khususnya dalam menggunakan jilbab bagi para muslimah. karena, banyak sekali faktor yg seringkali menghambat anda bahkan menghapus niatan baik anda itu seketika.

Tapi tau gk sih.., ternyata anda gk sendirian loh,.. Para akhwat (muslimah) yg sekarang sudah bisa menggunakan jilbab. Ternyata perjalanannya pun tdk semulus yg kita kira, semua itu dibutuhkan perjuangan yg luar biasa. Satu hal yg sy ingat dr ucapan seorang Ustad adalah "ketika Allah ingin menguji seberapa besar niat/kesungguhan di dalam hati seseorang. Maka ia senantiasa akan membenturkan anda pada kondisi yg bertolak belakang dgn niat anda itu"

Misal: ketika anda memutuskan untuk membiasakan diri dgn menggunakan rok, ada saja teman2 atau bahkan keluarga sekalipun yg mengejek anda, bahkan parahnya jg yg justru melarang. Atau tiba2 sj aktivitas anda saat itu seolah-olah mengharuskan anda untuk menggunakan celana. Padahal sebenarnya, jika anda menggunakan rokpun aktivitas2 itu masih tetep dapat anda lakukan (outbound, hiking, lari pagi, backpaker dll)

Berjuanglah, wahai ukhti... Allah hanya ingin menguji keteguhan hatimu. Apalah artinya keren/mulia dimata manusia jika ternyata kita tdk bernilai di hadapan Allah. Sbg hamba-Nya yg tak akan bisa hidup tanpa Rahmat dan Karuni-Nya, sudah semestinya hidup dgn ridho Allah lah yg menjadi prioritas kita, bukan pujian, bukan sanjungan dll. Dan jika ridho Allah sudah menyertai kita, apa sih yg tdk mungkin? Hidup kita pun menjadi penuh berkah.

Semoga kita dapat terus istiqomah di jalan yg diridhoi-Nya. Amin.

[sumber]

Menutup Rambut Bagi Wanita


www.tausiahislam.co.cc: Menutup Rambut Bagi Wanita - Telah menjadi suatu ijma' bagi kaum Muslimin di semua negara dan di setiap masa pada semua golongan fuqaha, ulama, ahli-ahli hadis dan ahli tasawuf, bahwa rambut wanita itu termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di hadapan orang yang bukan muhrimnya.

Adapun sanad dan dalil dari ijma' tersebut ialah ayat Al-Qur'an: "Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, ..." (Q.s. An-Nuur: 31).

Maka, berdasarkan ayat di atas, Allah swt. telah melarang bagi wanita Mukminat untuk memperlihatkan perhiasannya. Kecuali yang lahir (biasa tampak). Di antara para ulama, baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang mengatakan bahwa rambut wanita itu termasuk hal-hal yang lahir; bahkan ulama-ulama yang berpandangan luas, hal itu digolongkan perhiasan yang tidak tampak.

Dalam tafsirnya, Al-Qurthubi mengatakan, "Allah swt. telah melarang kepada kaum wanita, agar dia tidak menampakkan perhiasannya (keindahannya), kecuali kepada orang-orang tertentu; atau perhiasan yang biasa tampak."

Ibnu Mas'ud berkata, "Perhiasan yang lahir (biasa tampak) ialah pakaian." Ditambahkan oleh Ibnu Jubair, "Wajah" Ditambah pula oleh Sa'id Ibnu Jubair dan Al-Auzai, "Wajah, kedua tangan dan pakaian."

Ibnu Abbas, Qatadah dan Al-Masuri Ibnu Makhramah berkata, "Perhiasan (keindahan) yang lahir itu ialah celak, perhiasan dan cincin termasuk dibolehkan (mubah)."

Ibnu Atiyah berkata, "Yang jelas bagi saya ialah yang sesuai dengan arti ayat tersebut, bahwa wanita diperintahkan untuk tidak menampakkan dirinya dalam keadaan berhias yang indah dan supaya berusaha menutupi hal itu. Perkecualian pada bagian-bagian yang kiranya berat untuk menutupinya, karena darurat dan sukar, misalnya wajah dan tangan."

Berkata Al-Qurthubi, "Pandangan Ibnu Atiyah tersebut baik sekali, karena biasanya wajah dan kedua tangan itu tampak di waktu biasa dan ketika melakukan amal ibadat, misalnya salat, ibadat haji dan sebagainya."

Hal yang demikian ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a. bahwa ketika Asma' binti Abu Bakar r.a. bertemu dengan Rasulullah saw, ketika itu Asma' sedang mengenakan pakaian tipis, lalu Rasulullah saw. memalingkan muka seraya bersabda:

"Wahai Asma'! Sesungguhnya, jika seorang wanita sudah sampai masa haid, maka tidak layak lagi bagi dirinya menampakkannya, kecuali ini ..." (beliau mengisyaratkan pada muka dan tangannya).

Dengan demikian, sabda Rasulullah saw. itu menunjukkan bahwa rambut wanita tidak termasuk perhiasan yang boleh ditampakkan, kecuali wajah dan tangan. Allah swt. telah memerintahkan bagi kaum wanita Mukmin, dalam ayat di atas, untuk menutup tempat-tempat yang biasanya terbuka di bagian dada. Arti Al-Khimar itu ialah "kain untuk menutup kepala," sebagaimana surban bagi laki-laki, sebagaimana keterangan para ulama dan ahli tafsir. Hal ini (hadis yang menganjurkan menutup kepala) tidak terdapat pada hadis manapun.

Al-Qurthubi berkata, "Sebab turunnya ayat tersebut ialah bahwa pada masa itu kaum wanita jika menutup kepala dengan akhmirah (kerudung), maka kerudung itu ditarik ke belakang, sehingga dada, leher dan telinganya tidak tertutup. Maka, Allah swt. memerintahkan untuk menutup bagian mukanya, yaitu dada dan lainnya."

Dalam riwayat Al-Bukhari, bahwa Aisyah r.a. telah berkata, "Mudah-mudahan wanita yang berhijrah itu dirahmati Allah." Ketika turun ayat tersebut, mereka segera merobek pakaiannya untuk menutupi apa yang terbuka.

Ketika Aisyah r.a. didatangi oleh Hafsah, kemenakannya, anak dari saudaranya yang bernama Abdurrahman r.a. dengan memakai kerudung (khamirah) yang tipis di bagian lehernya, Aisyah r.a. lalu berkata, "Ini amat tipis, tidak dapat menutupinya."

Sumber : Fatawa Dr. Yusuf Al-Qardhawi

[sumber]
Kurban sebagai Wujud Syukur kepada Allah

Kurban sebagai Wujud Syukur kepada Allah

Tidak semata-semata Allah memerintahkan Nabi Ibrahim as memotong putranya yang tercinta, Nabi Ismail as, jika tidak ada hikmah yang terkandung dalam perintah tersebut. Apabila melihat kisah kurban yang terdapat dalam al-Quran yang diperankan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, layaklah kita anggap sebagai peristiwa nyata. Bila ada yang menyatakan hanya simbolik atau tak nyata alias fiktif, berarti telah menganggap kitab suci Umat Islam (al-Quran) tidak benar. Pikiran seperti ini seharusnya segera dijauhkan dari ingatan kita. Sebab kurban jelas sebagai perintah Allah yang tercantum dalam al-Quran surat al-Kautsar ayat 1-2:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ . فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.”

Makna Berkurban
Setiap ibadah dalam agama Islam pasti mengandung makna atau hikmah yang bermanfaat. Begitu pun ibadah kurban. Kurban sebagai ibadah tahunan merupakan ajaran Allah yang memiliki dimensi vertikal (hablumminallah) dan horizontal (hablumminannas). Dimensi vertikal ini bisa diartikan sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah dengan melakukan kurban. Yakni sebagai penghambaan kepada Allah, pada Nabi Ibrahim diwujudkan dengan menyembelih kambing atau sapi, yang dagingnya dibagi-bagikan. Aspek ini sebagai bentuk ajaran sosial dalam Islam (hablumminallah).

Kurban juga bisa dimaknai sebagai penyadaran atas nilai-nilai kebinatangan yang ada pada manusia (diri), sehingga kembali menjadi manusia. Namun ada juga yang memaknainya sebagai upaya untuk mendekat pada Allah. Bila itu yang dipahami dan diyakini, maka ia harus berani mengorbankan yang dicintainya (seperti Nabi Ibrahim as). Tapi pendapat ini argumennya tak begikut kuat. Sebab kalau sebagai keberanian berkurban untuk Allah, bagi seorang hamba yang benar-benar mencintai Allah, kurban seekor kambing atau unta  bukanlah simbol cinta yang bisa disebut besar. Apalagi ini kepada Allah.

Bukan Sekedar Cinta
Menurut dosen ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Ahmad Gibson al-Busthomie, ibadah kurban tidak hanya wujud cinta, tapi juga sebagai syukur atas nikmat yang diberikan Allah pada kita. Jika kita tetap yakin bahwa kurban sebagai wujud cinta, maka sungguh kecil nilainya dihadapan Allah.

Ahmad Gibson memberikan perbandingannya. Jika menyembelih kambing itu sebagai tanda cinta, coba bandingkan antara pengorbanan Nabi Muhammad saw yang mengorbankan dirinya berhadapan dengan orang-orang kafir yang ingin membunuhnya; atau Nabi Ibrahim as yang menyembelih anaknya dengan tangannya sendiri. Bandingkan dengan kita yang hanya mengorbankan seekor kambing atau sapi.

Kalau saja Allah tetap menganggap perngorbanan kita dengan seekor kambing sebagai tanda cinta kita pada-Nya, subhanallah, betapa besarnya Kasih-Sayang (Rahman-Rahim) dan Maha Pengampunan Allah kepada kita. Karena itu, kita harus bertanya pada niat kita sendiri untuk apa kita berkurban? Di situlah letak nilainya. Kemudian jika kita menyadari betapa kecilnya pengorbanan kita terhadap yang kita cintai (Allah), semestinya menjadi salah satu dasar supaya kita menyadari untuk semakin bersyukur. Jujur saja bahwa kita lebih banyak meminta suatu “materi” dibandingkan ungkapan rasa syukur dan minta ampunan. Jujurlah bahwa diri kita tak ada apa-apanya dihadapan Allah. Lantas, jika kita merasa kecil maka berbesar hatilah karena rasa rendah hati di hadapan Allah lebih baik dan benilai ibadah. Karena itu, sudah selayaknya kita bersyukur dengan melakukan ibadah kurban yang diperuntukkan bagi kaum dhuafa dan mereka yang menjadi korban bencana. Itu lebih manfaat dan mashlahat ketimbang diberikan kepada mereka yang sehari-harinya mengonsumsi daging. Insya Allah,

هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ إِلا الإحْسَانُ

Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan.” (QS ar-Rahman [55]: 60).

(Sakinah Oktober 2011)