Loading...
Tampilkan postingan dengan label halal bihalal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label halal bihalal. Tampilkan semua postingan
Menakar Taqwa Seseorang Selepas Ramadhan

Menakar Taqwa Seseorang Selepas Ramadhan

Ramadhan baru saja berlalu dari hadapan kita, bulan di mana semua ummat islam di-tranining untuk “dimodali” sebagai bekal untuk mengendalikan diri dalam mengarungi hidup sebelas bulan dihadapan kita yang membentang. Diharapkan dalam training tersebut kita mampu mengendalikan hawa nafsu sebagai mana dihari-hari selama ramadhan.

“Training” tersebut di awasi langsung oleh Allah dan ‘sertifikat’ kelulusannya adalah titel taqwa sekaligus ampunan yang disematkan pada ‘pesta’ perayaan lebaran. Kesuksesan seseorang dalam taqwanya dapat ditakar selepas Ramadhan melalui tiga hal yang menjadi ciri khas pribadi muttaqiin. Terangkum dengan apik dalam al Quranul karim Surat ali-Imran:134

الذين ينفقون فى السراء و الضراء والكا ظمين الغيظ و العا فين عن النا س إن الله يحب المحسنين
Artinya:
orang yang beriman adala)…. adalah orang yang menginfakkan harta bendanya baik dalam keadaan sempit maupun dalam keadaan lapang, menahan marah, mema'afkan orang lain. sesungguhnya Allah mencintai orang yang berbuat baik


Pertama, berbagi dalam keadaan sempit maupun lapang, kaitannya dengan ramadhan adalah zakat fithrah, zakat fithrah wajib bagi siapapun yang pernah menikmati ramadhan dan malam satu syawal meskipun sejenak, selama ia mempunyai bekal makanan untuk hidup esok harinya. Betapa zakat ftihrah ini membawa pesan bawah tanggung jawab berbagi bukan hanya kepada orang-orang yang kaya raya. Tetapi kepada siapapun jua yang diberi anugerah oleh Allah. Orang mempunyai kelebihan harta, maka berbagi harta untuk sesama yang membutuhkan, anugerah ilmu pengetahuan berbagilah kepada orang yang mendamba nasehat baiknya, anugerah kelebihan tenaga maka berbagilah kepada orang yang lemah dan begitulah seterusnya..

Kedua, menahan marah, marah adalah ciri manusia berperasaan, tetapi marah yang tidak pada tempatnya adalah hina dan menciderai nilai taqwa. Karena itu agama islam sebagai agama paripurna mengatur marah sedemikian rupa kepada orang lain yang dianggap melakukan kesalahan dalam level ‘terlalu’. Tetapi jangan lupa, tidak berarti marah dalam makna yang serampangan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi.

Apabila memang pantas untuk marah, pertimbangkan kembali sudah pantaskah benar-benar untuk marah, kalau memang sudah pantas, pertimbangkan kembali porsi marah yang harus diledakkan, jika sudah tepat maka pertimbangkan kembali dimana dan kapan dia harus marah. Dengan demikian marah kita ini tidak semata-mata melepas nafsu murka tetapi memberi pelajaran berharga bagi orang-orang yang dimarahi. Jika masih bisa ditahan maka tidak marah adalah jalan terbaik, sampai nabi mengatakan di dalam haditsnya, la-taghdhab, la-taghdhab, la-taghdhab

Ketiga dan paling sulit adalah mema’afkan, karena mema’afkan bertujuan menghapus kesalahan orang lain dari dalam lubuk hati, mengaku dengan lisan mema’afkan tetapi tidak tembus ke dalam hati itu berarti masih dalam batas menahan amarah, belum dalam level mema’afkan, ya hanya belum meledak saja.. hehehe

Memaafkan adalah bagian dari merubah pola pikir dari merasa benar menjadi pola pikir orang berpandangan bahwa orang lain yang melakukan kesalahan lebih pada kesalahan yang tak disengaja. Karena itu tidak ditemukan ayat meminta ma’af tetapi yang ditemukan adalah ayat-ayat untuk mema’afkan misalnya penggalan ayat QS. An-Nuur:22

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Hendaknya mereka mema’afkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak bahwa Allah akan mengampunimu? Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang

Dari ayat di atas, ciri-ciri pribadi muttaqin ada 3 yaitu, infaq dalam kondisi apapun, menahan marah, dan memaafkan, jika kita telah melaksanakan tiga hal tersebut maka kita layak mendapat julukan orang orang yang muhsinin. Dari tiga tingkatan tersebut yang paling tinggi tingkat kesulitannya adalah berbuat baik kepada orang lain meskipun orang lain tersebut berbuat salah kepada kita, dan itulah yang disebut dengan muhsinin

Semoga kita termasuk orang orang yang muhsinin... amiin ya rabbal alamin. Butuh naskah khutbah, silahkan kunjungi pusat khutbah jumat
Halal Bi Halal

Halal Bi Halal

Halal bihalal, dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri, adalah satu dari istilah-istilah "keagamaan" yang hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Istilah tersebut seringkali menimbulkan tanda tanya tentang maknanya, bahkan kebenarannya dari segi bahasa , walaupun semua pihak menyadari bahwa tujuannya adalah mencipakan keharmonisan antara sesama.

Paling tidak ada dua makna. Pertama, bertitik tolak dari pandangan hukum Islam dan kedua berpijak pada arti kebahasan.

Menurut pandangan pertama - dari segi hukum - kata halal biasanya dihadapkan dengan kata haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga pelanggarannya berakibat dosa dan mengundang siksa, demikian kata para pakar hukum. Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan serta tidak mengundang dosa. Jika demikian, halal bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa. menjadi halal dengan jalan memohon maaf.

Pengertian seperti yang dikemukakan di atas pada hakikatnya belum menunjang tujuan keharmonisan hubungan, karena dalam bagian halal terdapat sesuatu yang dinamai makruh atau yang tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan. Pemutusan hubungan (suami-istri, mislanya) merupakan sesuatu yang halal tapi paling dibenci Tuhan. atas dasar itu, ada baiknya makna halal bihalal tidak dikaitkan dengan pengertian hukum.

Menurut pandangan kedua - dari segi bahasa - akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai bentukan kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya. Makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut, antara lain, berarti "menyelesaikan problem", "meluruskan benang kusut", "melepaskan ikatan", dan "mencairkan yang beku". Jika demikian, berarti suatu bentuk aktivitas yang mengantarkan pada pelakunya untuk meluruskan benag kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya beku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghadang terjalinnya keharmonisan hubungan.
Itulah makna serta substansi halal bihalal, atau jika istilah tersebut enggan anda gunakan, katakanlah bahwa itu merupakan hakikat Idul Fitri, sehingga semakin banyak dan seringnya Anda mengulurkan tangan dan melapangkan dada, dan semakin parah luka hati yang Anda obati dengan memaafkan , maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan Anda terhadap hakikat halal bihalal . Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam.

Quraish Shihab dikutip dari buku "Lentera Hati": Kisah dan Hikmah Kehidupan", oleh M. Quraish Shihab, Penerbin Mizan, Maret 1995