Loading...

Renungan Akhir Tahun; Filosofi Barunya Waktu


Hakikat setiap hari adalah baru terbukti tidak ada hari yang sama, yang sama hanya namanya saja. Hari Selasa sekarang berbeda dengan selasa yang akan datang atau selasa yang telah lalu. Karena tanggal/bulannya beda, seandainya kebetulan sama yang pasti tahunnya beda. Dengan begitu mengantarkan kepada kesimpulan bahwa tahun baru tidak

Dalam perjalanan hari selalu ditandai dengan peredaran matahari, sampai sore hari menjadi malam, dari gelap menjadi terang benderang di siang hari, dari siang menuju senja dan berakhir menjadi gelap gulita, manusia juga berputar dari lemah menjadi sangat kuat sampai di usianya yang renta akan kembali menjadi lemah seperti sedia kala sampai berakhir pada kematian.

Putaran tahun juga demikian, seperti putaran matahari. Dari tahun ke tahun sampai pada akhirnya akan berakhir pada limit yang telah ditentukan oleh Allah swt. Jika kita tidak sampai di limit tahun terakhir mungkin kita akan meninggalkan putaran tahun tersebut, terlepas dari itu semua bahwa kita harus tahu bahwa hakikatnya setiap waktu adalah baru

Setiap hari adalah baru, Rabu sekarang berbeda dengan Rabu yang akan datang atau Rabu kemarin. Saat ini tanggal 1 Januari 2014, Rabu yang akan datang tanggalnya sudah berbeda, bila ada kesamaan Rabu di bulan Januari yang akan datang pasti akan berbeda tahunnya, itulah yang dimaksud dengan hakikat setiap waktu adalah baru.

Peringatan tahun baru menjadi terlihat istimewa, mungkin disebabkan karena putarannya lebih lama, karena itu pada tahun baru ini yang terpenting bukan soal perubahan tahunnya tapi prestasi amal baik apa yang sudah diukir, kemaksiatan apa saja yang sudah dihentikan. Perayaan pergantian dengan cara muhasab inilah yang harus didahulukan. Perhatikanlah firman Allah swt

"Di tempat itu, tiap-tiap diri merasakan pembalasan atas segala yang telah dikerjakan dahulu, dan mereka di kembalikan kepada Allah Penguasa mereka yang sebenarnya, dan (pada saat itu) lenyaplah dari mereka segala yang mereka ada-adakan"(QS. 10:30)


Ruang dan Waktu

Ruang dan Waktu

Al Qur'an mempunyai konsentrasi tinggi terhadap persoalan waktu, mengingat manusia tidak bisa mengelak dari waktu, kemanapun pergi waktu selalu menyertai, kelak waktu juga ikut bersaksi atas perbuatan manusia, salah satu bukti bahwa Al Qur'an 'perhatian' kepada waktu dibuktikan dengan adanya beberapa Surat di dalam Al Quran yang di awali dengan sumpah demi waktu, seperti demi waktu ashar, demi malam, demi waktu subuh, demi waktu dhuha dan sejenisnya.

Hal itu mestinya menjadi bahan renungan sebagai hamba Allah yang dikarunia kesempurnaan akal seperti manusia, bahwa hidup ini berpacu dengan waktu, Sahabat Ali ra bahkan mengatakan:"waktu adalah pedang", pedang sebagai alat untuk membunuh termasuk membunuh sang empunya sendiri jika tidak pandai memanfaatkannya. Sebaliknya bila mampu me-manage dengan baik maka dengan alat pedang membuka peluang menjadi jalan menuju kebajikan (bc: syahid). Yang terpenting dalam memanfaatkan waktu adalah untuk meraih prestasi amal baik dan menciptakan prasasti dari perbuatan yang bisa dikenang oleh orang lain sepanjang masa.

Disamping waktu, manusia juga tidak bisa melepaskan dirinya dari ruang, tak perduli sispappun, entah rakyat jelata atau pejabat kaya, presiden atau pengamen, anggota DPR atau tukang ember, pemikir atau tukang parkir, baik kalangan mentri atau tukang patri semua tak bisa melepaskan didinya dari ruang dan waktu.

Ruang keabadian adalah Akhirat semua akan berlabuh di 'sana' kekal selama-lamanya, oleh karena semua tujuan adalah ke arah sana, maka sebagai seorang muslim harus menata orientasi hidup tidak sekedar bermewah-mewahan di dunia, tetapi yang terpenting adalah membuat orientasi jangka panjang yang bersifat abadi dimana ruang dan waktu nya bersifat kekal yakni akhirat,

Saat ini pula tanpa harus menunggu besok atau lusa untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan dosa, sebagaimana firman Allah: "Dan perbuatan dosa tinggalkanlah” (QS Al Muddatstsir: 5). Senada dengan tulisan ini silahkan di baca Renungan tahun baru hijriyah


Belajar Ngaca

Mungkin kesan pertama yang ditangkap pembaca agak janggal judul di atas, bukankah anak kecil saja tidak perlu belajar ngaca, karena ngaca adalah perbuatan sehari-hari yang mudah, tetapi posting blog ini berisi ajakan belajar ngaca. hehehe.. yang dimaksud Belajar Ngaca dalam posting kali ini bukan ngaca di depan cermin biasa seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang terutama kaum hawa’, tetapi yang dimaksud dari posting ini adalah ajakan untuk belajar dari ngaca, melihat perlakuan orang lain terhadap kita sebagai hasil pantulan dari perbuatan kita terhadap orang lain, berdasarkan hadits Nabi Saw: al mu'minu mraatul mu'min (orang mukmin cermin bagi orang mu'min -lainnya). Dari segi bahasa mira'at adalah derivasi dari kata ra'a yang artinya melihat, adapun mira'at merupakan isim alat, alat untuk melihat diartikan "cermin".

Biasanya kata ra'a diartikan melihat sesuatu yang bersifat abstrak, mimpi diistilahkan dalam bahasa Arab ra'a fil manam. Saya pernah mendengar ada khatib menjelaskan haditts di atas tetapi penjelasannya hampir 90% ra’a dimaknai melihat secara fisik, misalnya cara berpakaian, cara senyum, cara bertutur kata dan seterusnya, kerancuan akan timbul bila dikaitkan dengan trend butuhnya popularitas di tahun 2014 nanti. Memberi pencitraan kebaiakn dalam pikirannya agar menarik simpatik para penggemarnya wallahu a'lam

-o0o-
Kalau kita mengucapkan salam kepada banyak orang lain, maka yang kita dapat adalah ucapan salam, kalau seseorang berbuat baik kepada orang lain maka orang lain pun akan banyak yang berbuat baik sebagai balasannya. Semakin banyak perbuatan baik yang diberikan kepada orang lain maka semakin banyak pula kebaikan yang dapat kita petik. Sebaliknya, semakin banyak perbuatan buruk yang dilakukan maka semakin banyak pula balasan keburukan yang dipanen. Jadi hidup ini layaknya orang yang sedang mengaca di depan cermin.

Kalau ternyata dalam cermin tersebut ada bayangan jelek, hitam, kotor, senyum kepuraan, kebaikan yang brbalut pencitraan, fenomena itu bukan berarti di dalam cermin ada makhluk lain. Tetapi seperti itulah timbal balik sejati yang didapat. Jadi perbuatan baik kepada orang lain adalah berbuat baik kepada diri sendiri, begitu juga sebaliknya dhalim kepada orang lain sama halnya dhalim kepada diri sendiri
Allah berfirman di dalam surat al Isra':7
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا
"apabila engkau berbuat baik maka berbuat baik untuk dirimu, dan jika engkau berbuat kejelekan maka perbuatan jelek untuk dirimu"

Imam al Qurtubi menafsirkan “li” pada kata li anfusikum dalam ayat di atas bermakna ila, sehingga diartikan dan apabila engkau berbuat baik maka berbuat baik kepada dirimu, dan jika engkau berbuat kejelekan perbuatan jelek kepada dirimu. Pencitraan baik kepada orang lain yang aslinya tidak baik, hanya memberi kepalsuan saja kepada orang lain
أوقال الطبري : اللام بمعنى إلى ، يعني وإن أسأتم فإليها ، أي فإليها ترجع الإساءة ; لقوله - تعالى - : بأن ربك أوحى لها أي إليها .
Mungkin masih terbantahkan, faktanya dalam kasus tertentu ada orang berbuat baik tetapi mendapat balasan buruk, ingat..!! bahwa muara hidup ini bukan sebatas di dunia, tetapi muara paling akhir dari semua rangkaian kehidupan ini di hari akhirat kelak, jika tak terbalas di dunia PASTI kebaikan akan berbalas kebaikan di akhirat. 

Oleh karena itu jangan pernah ragu untuk berbuat baik kepada orang lain, tak perlu harus membungkus dengan citra palsu dalam keseharian, suatu saat masyarakat yang cerdas akan mampu mebedakan antara yang orisinil dengan yang imitasi, antara yang sakral dan yang profan. Semoga manfaat dan kita semua bisa menajalankan hidup di panggung dunia ini dengan hidup sebaik-baiknya.. silahkan rujuk juga posting yang masih berkaitan dengan tema ini yaitu Hidup adalah Penyesalan

Sabar dan Syukur

Sabar disaat susahJika pada posting sebelum-sebelumnya telah dijelaskan bahwa takdir adalah pilihan hidup, maka setelah pilihan tersebut masuk ke dalam suka adatau duka maka sabar dan syukur adalah sifat untuk menerima ketentuan yang diberlakukan oleh Allah kepada diri kita. Dalam perjalanan kehidupan manusia antara bahagian dan susah, suka dan duka keduanya datang silih berganti saling mendahului,

Terkadang ada suasana senang tapi di lain waktu dirundung susah semuanya silih berganti. Karena itu Allah memberikan dua sifat mulya sebagai solusinya untuk mendekatkan diri kepada Allah yaitu dengan sabar dan syukur . Ketika dalam keadaan suka diperintahkan untuk bersyukur apabila sedang dirundung susah diperintahkan untuk bersabar.

Kadua sifat; syukur dan sabar itu seolah berpasang-pasangan yang saling mengisi satu dengan yang lainnya. melalui dua sifat tersebut Allah hendak menjadikan para hambanya sebagai orang yang berpeluang sama untuk mendapat ridhonya. bagi hambanya yang diberi karunia nikmat maka syukur adalah media untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebaliknya bagi hamba Allah yang dirundung kesusahan maka sabar adalah salah satu media untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

Sabar dan syukur juga diisyaratkan oleh Allah seperti orang berjalan, antara kiri dan kanan bergantian, tidak pernah kita jumpai orang yang berjalan selalu kaki kanan didepan atau sebaliknya kaki kiri selalu di depan. begitu juga lamabaian tangan, antara kanan dan kiri selalu bergantian, apabila kaki melangkah maka tangan kanan yang melambai ke depan dan begitulah seterusnya.

Semua itu adalah ayat Allah yang tidak berupa teks yang menantang untuk kita baca, agar kita semakin dalam rasa iman dan taqwa terutama terhadap takdir yang diberlakukan Allah kepada kita semua.

Orang yang bersyukur akan ditambahkan nikmat oleh Allah yang melimpah, al-Ghazali membuat analogi, semua nikmat bagaikan bianatang peliharaan, sedangkan syukur adalah jodohnya, apabila binatang tersebut satu jodoh maka tidak menutup kemungkinan akan kawin dan membuat anak-pianak dari nikmat-nikmat tersebut yang akan ditambahkan,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan ingatlah ketika Rabb-mu memberitahukan, jika kalian bersyukur niscaya Aku akan tambah bagi kalian. Dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku itu amatlah berat.” (Qs. Ibrahim: 7)


Pahala sabar tidak terhitung, agaknya tak heran jika pahala puasa hanya Allah yang mengetahui besar kecil, berkualitas atau tidaknya puasa seseorang, karena di dalam puasa yang berlaku adalah kesabaran, kesabaran menahan dahaga sampai pada waktu berbuka.
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, pahala mereka tidak terhitung

Menakar ukuran taqdir

Menyoal qadha dan qadar akan menjadi hal yang sangat pernting karena qadha dan qadar adalah salah satu rukun iman, yaitu beriman kepada qadha dan qadar, kedua kata ini lebih dikenal dengan nama takdir. pengertian taqdir, itu sendiri jika taqdir dikaitkan dengan manusia maka artinya kemampuna, sedangkan jika dikaitkan kepada Allah berarti menafikan ketidakmampuan Allah, atau dengan kata lain melemahkan yang lainnya, Allah Qadiir berarti Allah maha kuasa, menafikan keyakinan bahwa Allah mempunyai kelemahan. sebelum melajutkan bacaan simak terlebih dahulu kultum tentang takdir 

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan kewajiban mengimani takdir Allah Ta’ala dalam ucapan beliau: “Ini termasuk ikatan iman (yang utama), landasan utama ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah Ta’ala), serta pengakuan (keyakinan) terhadap tauhid dan rububiyah-Nya

Qadha dan Qadar
Qadar secara bahasa adalah ukuran tertentu yang telah ditetapkan oleh Allah sejak zaman azali, dari pengertian ini berarti qadar mendahului qadha'. karena telah ditentukan itulah maka tidak bisa melampaui dari ukuran yang telah ditentukan sebelumnya

"Dan telah Kami takdirkan/tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua" (QS Ya Sin [36]: 39)

rembulan tidak akan bisa bergerak melampaui manzilah yang telah ditentukan sebelumnya, ia akan patuh sesuai dengan ukurannya yang berlaku. Begitu juga dalam kehidupan, takdir adalah pilihan hidup memilih dengan mengetahui kadar ukuran yang paling tepat untuk menunjang kehidupan ini

Namun ada yang tidak membedakan sama sekali, yang membedakan qadha lebih didasarkan atas ayat qur'an diberbagai tempat mendahulukn qadha daripada qadar. Bagi ulama' yang membedakan kedua kata tersebut. Qadha adalah ketentuan azali sedangkan waktu terjadinya disebut dengan kadar/taqdir. Semua tertulis rapi di lauh mahfudz.

Demikian tulisan singkat tentang menakar ukuran taqdir Silahkan rujuk juga 
Ayat Banjir

Ayat Banjir

Dibawah ini adalah salah satu rangkaian detail ayat banjir di QS. Hud dari ayat:32-49, posting ayat banjir ini semata-mata melengkapi posting sebelumnya yang diberi judul Banjir; Fenomena alam atau kutukan prespektif teologis

قَالُوا يَانُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Mereka berkata: "Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar". (QS. Hud: 32)

قَالَ إِنَّمَا يَأْتِيكُمْ بِهِ اللَّهُ إِنْ شَاءَ وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ
Nuh menjawab: "Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri. (QS. Hud: 33)

وَلَا يَنْفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَنْصَحَ لَكُمْ إِنْ كَانَ اللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُغْوِيَكُمْ هُوَ رَبُّكُمْ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan". (QS. Hud: 34)


أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ إِنِ افْتَرَيْتُهُ فَعَلَيَّ إِجْرَامِي وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تُجْرِمُونَ
Malahan kaum Nuh itu berkata: "Dia cuma membuat-buat nasihatnya saja". Katakanlah: "Jika aku membuat-buat nasihat itu, maka hanya akulah yang memikul dosaku, dan aku berlepas diri dari dosa yang kamu perbuat". (QS. Hud: 35)

وَأُوحِيَ إِلَى نُوحٍ أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلَّا مَنْ قَدْ ءَامَنَ فَلَا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. Hud: 36)

وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ
Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 37)

وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَأٌ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ قَالَ إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ
Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). (QS. Hud: 38)

فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَنْ يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُقِيمٌ
Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal." (QS. Hud: 39)

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ قُلْنَا احْمِلْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ ءَامَنَ وَمَا ءَامَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: "Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman." Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. (QS. Hud: 40)

وَقَالَ ارْكَبُوا فِيهَا بِسْمِ اللَّهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan Nuh berkata: "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Hud: 41)

وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." (QS. Hud: 42)

قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ
Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (QS. Hud: 43)

وَقِيلَ يَاأَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah," Dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim." (QS. Hud: 44)

وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya." (QS. Hud: 45)

قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (QS. Hud: 46)

قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat) nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Hud: 47)

قِيلَ يَانُوحُ اهْبِطْ بِسَلَامٍ مِنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَمٍ مِمَّنْ مَعَكَ وَأُمَمٌ سَنُمَتِّعُهُمْ ثُمَّ يَمَسُّهُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ
Difirmankan: "Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mu'min) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami." (QS. Hud: 48)

تِلْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهَا إِلَيْكَ مَا كُنْتَ تَعْلَمُهَا أَنْتَ وَلَا قَوْمُكَ مِنْ قَبْلِ هَذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ
Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Hud: 49)

Semoga ayat banjir di atas menjadi sumber pelajaran berharga bagi kita dalam memahami banjir yang segera tiba di musim penghujan akhir tahun. dan masih ada ayat lain yang tersebar di beberapa surat di dalam al Qur'an

BLOGGER INDONESIA

Banjir; Fenomena alam atau kutukan prespektif teologis

Dalam pandangan ilmiah, banjir dianggap sebagai fenomena ilmiah (sunnatullah). Biasanya terjadi secara periodik dari tahun ke tahun di musim penghujan, sayang sekali kejadian serupa terulang terus menerus terjadi secara periodik tanpa menyisakan pelajaran berharga untuk belajar memelihara alam agar semakin ramah terhadap penghuninya

Secara alamiah banjir disebabkan oleh akibat kerusakan yang dibuat oleh tangan manusia yang tidak mampu merawatnya dengan baik, sehingga kurangnya resapan pada setiap bangunan, penyumbatan selokan akibat buang sampah ngawur, sistem pengaliran air ke laut yang kuran terawat diperparah oleh penggundulan hutan dan penghilangan lahan untnuk dijadikan pemukiman dan lahan industri, ambil saja contohnya Jakarta, hampir 90.33 persen wilayahnya berupa bangunan.

Akibatnya tahun 1992 banjir di Jakarta mencapai 61 titik, meningkat di tahun 2002 menjadi 159 titik. Dalam sekala Nasional Selama tahun 2012 ditemukan 4.291 kasus banjir yang merugikan 186.125 warga. Bahkan menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 97 dari 180 kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa berpotensi banjir. Sungguh sebuh bilangan bencana yang mengerikan di negeri yang loh jinawi seperti ini. Pemerintah harus selalu mencarikan jalan keluar dan tidak menganggap ini adalah kejadian wajar tetapi pasti ada tata kelolah yang salah.

Sebagian orang memaknai banjir adalah sebagai bagian dari kutukan dan kemurkaan Tuhan kepada manusia yang terus bergelimang maksiat. Bahkan dalam pentas sejarah agama, Nabi-nabi terdahulu juga mengalami fenomena banjir bandang seperti yang terjadi pada ummatnya Nabi Nuh, Hud dan banjir yang melanda kaum Saba’. Karena ummat nabi-nabi tersebut tidak mau taat terhadap perintah Allah. Pemaknaan teologi semacam ini bukan tidak berdasar, karena di dalam al Qur’an dinyatakan secara gamblang, misalnya Fenomena banjir bandang Nabi Nuh as banjir dijelaskan secara detail dari prolog sampi epilognya tertuang dalam (QS. 11: 32-49)

Dalam beberapa ayat diantaranya peneggelaman orang orang yang tidak bersama Nabi Nuh disebabkan karena mendustakan ayat-ayat Allah, sebagaimana termaktub di dalam firmannya

فَكَذَّبُوهُ فَأَنْجَيْنَاهُ وَالَّذِينَ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ وَأَغْرَقْنَا الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا عَمِينَ
Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya). (QS. al A’raf: 64)

Dari kata “ayat-ayat kami..” dapat dipahami bukan hanya hanya ayat lafdziyah (teks) tetapi juga pengingkaran atas ayat ayat kauniyah, dalam teologi banjir ini adalah ayat ayat lingkungan. Jadi tidak menutup kemungkinan bahwa pemahaman banjir disebabkan oleh pengingkaran atau maksiat yang dimaksud bisa jadi karena perusakan alam yang semakin nyata dan riil, bukan murni karena kutukan.

Dalam sebuah desertasinya Dr. Mujiyono Abdillah, MA., ia tidak sepakat apabila fenomena alam berupa banjir ditafsiri sebagai murni karena kutukan dari Tuhan, tetapi justru sebalikanya hal-hal semacam ini lebih pada pola tafsir secara ekologis yang dapat di cari pola penyelesaiannya secara manusiawi dan alamiah bukan semata mata kutukan tuhan. Pemaknaan banjir; fenomena alam atau kutukan prespektif teologis harus didasarkan pada rasio sehat bahwa banjir yang terjadi sebab sunnah lingkungan yang dilanggar. Karena sunnah yang dilanggar itulah menimbulkan kutukan tuhan. Alam menjadi ‘tidak sabar’ menahan eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh tangan jahat manusia.