Loading...
Tampilkan postingan dengan label kajian fiqh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kajian fiqh. Tampilkan semua postingan

Terminologi Poligami dalam berbagai agama

CERAMAH SINGKAT, Terminologi poligami selalu menjadi perbincangan yang tak kunjung habis, semakin terminologi poligami dalam berbagai agama agama di dunia, dalam hal ini kami memasukkan agama ardhi sebagai sebuah kredo agama seperti hindu, budha, kristen dan terutama islam, karena penulis masih punya banyak tulisan yang berkaitan dengan poligami dan akan kami posting di beberapa hari ke depan, ikuti kelanjutannya.

Poligami semakin digali semakin bermunculan efek sosial dan problematika keluarga yang muncul, terlebih lagi bila kedua belah pihak sudah mempunyai tanggung jawab keluarga, dapat dipastikan efek dominonya akan bermunculan untuk menyandinginya, tulisan ini bukan bermaksud menjadi tulisan yang berbau sarkasme tetapi melihatfakta yang terjadi di beberapa kasus poligami, karena semua lintasan hidup manusia tentu berbeda antara individu satu dengan individu lainnya. mungkin atas dasar pertimbangan efek sosial dan keluarga inilah sehingga di beberapa negara poligami dipuskan seperti Tunisia dan Turki

Diakui atau tidak diakui ‘poligami’ seolah-olah menjadi sebuah nama monster menakutkan bagi sebagian besar kaum hawa, karena itu poligami harus mendapat ruang tersendiri untuk membicarakannya lebih detail namun dalam tulisan ini hanya sebatas memberikan muqaddimah pandangan agama agama di dunia tentang prinsip dasar yang dipakai sebagai batu pijakan kasus poligami. Kami tidak tahu persis apa landasan poligami agama-agama lain selain Islam, tetapi yang kami tahu dari beberapa sumber antara lain akan dikemukakan di bawah ini.

Dalam soal keluarga hampir tidak ada yang bertentangan kecuali soal poligami dan nikah beda agama, nikah beda agamapun mempunyai aturan tersendiri di dalam Islam, dan pada dasarnya pernikahan beda agama juga tidak di anjurkan. Hal itu dilakukan hanya semata mata sebagai alasan terakhir jika menemui jalan buntu. Pada mulanya arti Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, bila istri memiliki beberapa pasangan biasanya lebih dikenal dengan nama poliandri, definisi ini sama halnya menurut antropologi sosial.

Menurut pagangan hukum Hindu, poligami adalah hal dilarang, biasanya hanya dilakukan oleh sebagian kecil penganutnya dari kasta tertentu saja denga alasan unsur politis dan strategis. Misalnya Manawa Dharmasastra Buku ke-3 (Tritiyo ‘dhayayah) ada pasal yang berbunyi "Asapinda ca ya matura, sagotra ca ya pituh, sa prasasta dwijatinam, dara karmani maithune." Artinya, Seorang gadis yang bukan sapinda dari garis-garis ibu, juga tidak dari keluarga yang sama dari garis bapak dianjurkan untuk dapat dikawini oleh seorang lelaki dwijati." Pengertiannya adalah perkawinan itu dianjurkan satu orang gadis mempunyai satu orang laki-laki (monogami) itupun dipilihkan suami iyang sudah dwijati (mapan dan mandiri). 

Kita tahu bahwa cerita maha bharata yang banyak diilhami agama Hindu memang banyak mengisahkan praktek poligami, sebut saja Prabu Pandhu Dewanata yang mempunyai isteri Dewi Madrim dan dewi Kunthi, atau Werkudara yang mempunyai isteri Dewi Nagagini, Dewi Arimbi dan Dewi Urang Ayu, tentu kisah ini kurang tepat jika dijadikan sebagai landasan poligami secara umum. Mereka memiliki kasta tersendiri. Begitupula dalam agama Yahudi, meskipun tidak melarang namun sebagian penganutnya, kini berbagai kalangan dalam agama Yahudi melarangnya

Lain lagi dengan Budha, yang tidak menegaskan relegiusitas boleh dan tidaknya berpoligami, Budha Gautama hanya memberikan nasehat tentang cara berumah tangga, tidak menyebutkan secara detail hukum berpoligami.

Dalam Agama Islam yang paling sering dipakai landasan untuk berpoligami adalah QS. An Nisa’: 2
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا.
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Dalam ayat tersebut di atas adalah ayat yang berkaitan dengan anak yatim yang kemudian berlanjut dengan menikah lebih dari satu, tentu ada makna implisit dari penyebutan anam yatim di sana, dan perlu dikaji ulang bahwa dalam surat an-Nisa ini beberapa ayat setelahnya masih berkaitan dengan pemeliharaan anak yatim sebelum membahas soal pembagian warisan. Poligami yang dilakukan oleh Rasul pada 8 Tahun usianya sebelum meninggal berpulang keharibaan-Nya adalah sebuah pernikahan yang berdimensi ibadah sosial untuk menaikkan derajat perempuan dikalangan Arab yang feodal pada masa itu, yang dinikahipun mayoritas adalah janda yang ditinggal suaminya meninggal dunia kecuali Aisyah ra.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Nabi Muhammad saw marah besar ketika mendengar putrinya, Fatimah akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar kabar itu, nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga”. (Jami’ al-Ushul, juz XII, 162)

Dasar inilah yang dipakai oleh kalangan agamawan untuk menentang praktik poligami, Mahkamah Konstitusi sendiri menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan hak untuk membentuk keluarga. Yang harus diingat adalah, suami tidak boleh bersifat egoistik mementingkan mawadah untuk dirinya sendiri tanpa memperhatikan mawaddah orang lain (isteri), karena prinsip dasar keluarga bahagia adalah saling memiliki tanpa pamrih (mawaddah). Sampai di sini tulisan terminologi poligami ditinjau dari berbagai agama, kami akan mempertajam pada postingan berikutnya tentang poligami menurut agama Islam, karena selalu memberikan peringatan kepada hati agar tetap istiqomah dan berjalan di rel agama yang sesungguhnya.. amiiiin.

Hukum Khitan

Pada blog Ceramah singkat yang sudah lama tidak update ini akan membahas tentang apa hukum khitan dan hikmahnya, termasuk didalamnya adalah khitan itu mengikuti agama siapa? Beberapa bulan lalu juga ada pendapat yang pernah menggemparkan di dunia fiqh bahwa ada penemuan adanya indikasi yang membahayakan khitan bagi perempuan? Beberapa pertanyaan di atas akan coba kita urai satu persatu, terkait juga admin dapat amanah ceramah singkat untuk menjelaskan tentang khitan di jawa timur di mana kampung kami berada, setelah hampir 20 tahun tidak pernah ceramah di sana.

secara bahasa khitan artinya memotong. Dan terkadang dalam kajian fiqh khitan juga dipakai untuk menyebut alat kelamin, seperti di dalam sebuah hadits yang menyebutkan

"Apabila terjadi pertemuan dua khitan, maka telah wajib mandi" (H.R. Muslim, Tirmidzi dll).

Pengertian khitan secara istilah adalah memotong kulit yang menutupi alat kelamin lelaki (penis). Dalam bahasa Arab khitan juga digunakan sebagai nama lain alat kelamin lelaki dan perempuan seperti dalam hadist yang mengatakan "Apabila terjadi pertemuan dua khitan, maka telah wajib mandi" (H.R. Muslim, Tirmidzi dll.)Khitan sendiri dari bahasa Arab yang berarti sedangkan menurut Imam Nawawi Khitan adalah Pengertian Khitan
Adapun menurut ‘ulama fiqh, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi sebagai berikut :

اَلْخِتَانُ هُوَ فِى الذَّكَرِ قَطْعُ جَمِيْعِ اْلجِلْدَةِ الَّتِى تُغَطّى اْلحَشَفَةَ حَتَّى تَنْكَشِفَ جَمِيْعُ اْلحَشَفَةِ، وَ فِى اْلاُنْثَى قَطْعُ اَدْنَى جُزْءٍ مِنَ اْلجِلْدَةِ الَّتِى فِى اَعْلاَ اْلفَرْجِ.
Khitan bagi laki-laki ialah memotong semua kulit yang menutupi kepala dzakar, sehingga terbuka kepala dzakar seluruhnya. Sedangkan bagi wanita ialah memotong sedikit bagian berupa kulit yang berada di atas lubang kemaluan (yang menutup kelenthit). [Diambil dari Syarah Muslim oleh Imam Nawawiy]

Secara eksplisit di dalam al Qur’an tidak dsebutkan tentang dalil khitan, tetapi secara implisit bisa di jadikan sebagai sumber adalah mengikuti millah Nabi Ibrahim as. Allah berfirman ;

ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرهِيْمَ حَنِيْفًا. وَمَا كَانَ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ. النحل:123
"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif. Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”. [QS. An-Nahl : 123]

Pengertian millah, dan agama atau sunnat
Kata Millah dipakai dalam istilah Bahasa Arab menunjuk kepada ajaran agama. Antara Millah dan a-Din adalah konteks yang hampir sama meskipun tidak sama persis dengan kata ad-Din, Biasanya Millah digunakan ketika kata tersebut dihubungkan dengan nama Nabi yang kepadanya agama itu diwahyukan dan Din digunakan ketika dihubungkan dengan salah satu agama atau sifat agama, atau dihubungkan dengan Allah yang mewahyukan agama tersebut. Seperti millah Ibrahim, millah Ishaq sedangkan ad-Din biasanya digunakan dengan penyebutan agama secara umum misalnya dinul-islam, dinil-haqq, dini-llah dan sebagainya. Perwujudan millah Ibrahim as adalah agama Islam itu sendiri dengan berbagai penyempurnaan dari Allahu rabbul ‘alamin Sebagaimana firman Allah:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”(QS. Al Maidah :3)
Adapun kaitannya dengan khitan, salam sebuh hadits dinytakan bahwa Nabi Ibrahim dikhitan pada usia 80 tahun, Nabi Ibrahim as di khitan pada usia 80, sebagaimana HR Bukhari-Muslim;

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : اختتن إبراهيم عليه السلام وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم
Artinya: "Ibrahim ‘alaihissalam telah berkhitan dengan qadum (nama sebuah alat pemotong) sedangkan beliau berumur 80 tahun dengan kapak (bc: pisau)"

Ada beberapa pendapat ulama’ tentang khitan ini, menurut Jumhur ulama’ (mayoritas ulama), hukum khitan bagi lelaki adalah wajib. Pendukung pendapat ini adalah Imam Syafi'i, Ahmad, dan sebagian pengikut imam Malik, seedangkan Imam Hanafi berpendapat khitan wajib tetapi tidak fardlu.

Imam Malik berpendapat khitan hukumnya sunnah. Begitu juga riwayat dari Imam Hanafi dan Hasan al-Basri mengatakan sunnah. Tetapi bagi Imam Malik, sunnah kalau ditinggalkan berdosa, karena menurut kelompok madzhab ini sunnah adalah antara fardlu dan nadb. Pendapat ini senada dengan pendapat Ibnu Abi Musa dari ulama Hambali yang mengatakan sunnah muakkadah.

Sedangkan bagi Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mughni mengatakan bahwa khitan bagi lelaki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan, andaikan seorang lelaki dewasa masuk Islam dan takut khitan maka tidak wajib baginya, sama dengan kewajiban wudlu dan mandi bisa gugur kalau ditakutkan membahayakan jiwa, maka khitan pun demikian.

Bahkan khitan ini juga merupakan bagian dari syariat agama-gama lain seperti ditemukan di dalam Bible Lukas 2:21 ”Dan ketika genap delapan hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibu-Nya.” Namun kami belum memastikan kebenaran keberadaan di lukas tersebut.

Adapun hikmahnya akan kami tulis dalam posting berikutnya ..semoga manfaat

Adab Berbuka Puasa dan Dalilnya

Salah satu yang harus dilakukan oleh orang yang melaksanakan ibadah puasa adalah berbuka puasa, hukum berbuka puasa adalah wajib, karena itu tidak ada tuntunannya seseorang yang berpuasa sehari semalam, jika kita mendengar ada seseorang melaksanakan puasa sehari semalam dengan niat tertentu maka pahamilah mereka berbuka namun sekedar untuk membatalakn puasa saja, kemudian ia tidak makan semalam suntuk. Mengingat pentingnya berbuka puasa tersebut kali ini akan membahas adab berbuka puasa dan dalilnya.

Setelah menahan lapar dan dahaga seharian penuh dan dalam berpuasa jangan sampai berbuka dengan ucapan main-main (malahiy) lebih lebih dengan ucapan yang haram, inilah yang disarankan oleh Rasul saw, ada seseorang yang berpuasa namun di siang harinya ia berbuka dengan yang haram, seperti gosip, adu domba, ghibah dan lain sebagainya. Karena inti puasa adalah pengendalian diri bila tidak bisa mengajak puasa seluruh anggota tubuh atau panca inderanya lalu apa bedanya dengan hewan yang dipaksa diajak berpuasa dengan cara tidak memberikan makan, minum dan kawin. Sama saja dengan puasa hewani  dan yang diharapkan adalah Adab berbuka puasa adalah sebagai berikut

Segerakan berbuka, apabila telah datang waktu berbuka jangan menunggu lama untuk berbuka puasa, mensegerakan berbuka puasa hukumnya sunnat, begitulah keindahan Agama Islam dalam memperlakukan ummatnya. Agama Islam tidak memberatkan ummat pemeluknya, karena itu tidak ada alasan sedikitpun untuk tidak melakukan tuntunan agama yang wajib. Bila seseorang tidak mampu karena udzur maka dibolehkan baginya untuk tidak berpuasa, tentunya udzur yang sesuai dengan syar’i misalnya sakit, dalam perjalanan, karena tua renta dll, pedoman disunnatkan untuk men-segerakan berbuka adalah hadits Dari Sahl bin Sa'ad ra, Rasulullah saw bersabda: “Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka" [HR Bukhari 4/173 dan HR. Muslim 1093].

Makanlah yang manis-manis, seperti kurma, buah atau makanan lain yang manis hal ini dipahami dari hadits Nabi saw: Diriwayatkan dari Salman bin Amir, bahwa sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda : Apabila salah seorang diantara kamu puasa hendaklah berbuka dengan kurma, bila tidak ada kurma hendaklah dengan air, sesungguhnya air itu bersih. ( H.R : Ahmad dan At-Tirmidzi ). Sebisa mungkin untuk tidak memakan makanan yang berat karena lambung masih kosong dan menghadapi sholat maghrib.

Apabila makan malam sudah dihidangkan maka makanlah terlebih dahulu, karena yang demikian itu akan lebih membuat khusyu’ didalam sholat. Lebih makan makan sambil ingat sholat dari pada sebaliknya di tengah pelaksanaan sholat ingat makan, mendahulukan makan yang sudah dihidang tersebut berdasarkan Hadits Nabi saw dari Anas ra, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw: Apabila makan malam telah disediakan, maka mulailah makan sebelum shalat Maghrib, janganlah mendahulukan shalat daripada makan malam itu ( yang sudah terhidang ). ( H.R : Bukhary dan Muslim )

Masa penantian berbuka adalah masa yang paling indah dan saat-saat spiritualitas kita meningkat, mengingat senangnya seseorang di dalam berbuka karena itu perbnanyaklah membaca do’a. Doa orang yang berpuasa adalah sangat maqbul. Semoga puasa kita semua menjadi puasa yang mengatarkan kita menjadi orang yang bertaqwa

Berpahalakah Anak Kecil Berpuasa

Pada hukum asalnya, puasa hanya diwajibkan bagi mu’min yang akil baligh, sedangkan bagi anak kecil tidak ada kewajiban yang mengikat untuk berpuasa, Bagi anak kecil yang berpuasa tujuan utamanya adalah untuk mendidik (li-tarbiyyah) agar ketika di awal akil baligh si anak sudah terbiasa dengan kewajiban berpuasa. Hampir semua orang tua memahami dalam hal ini, ada ta’bir yang mengatakan;
قال أبو إسحاق : يلزمه أن ينوي صوم فرض رمضان ، لأن صوم رمضان قد يكون نفلا في حق الصبي فافتقر إلى نية الفرض ليتميز عن صوم الصبي
Abu Ishaq berkata: wajib niat puasa fardhu ramadhan, karena sesungguhnya puasa ramadhan itu sunnat bagi anak kecil, maka butuh terhadap niat untuk pembeda dengan puasanya anak-anak

Dari ta’bir diatas, menurut penulis jelas sekali bahwa setelah niat maka nilai puasanya menjadi beda. Puasa anak-anak tidak memakai niat karena tidak mengerti tentang puasa termasuk apa definisi niat, akan tetapi setelah nyata bahwa puasanya disertai niat maka kualitasnya akan berbeda.

TPertanyaan selanjutnya adalah berpahalakah Anak Kecil Berpuasa ? Jawabnya “Ya”, puasa anak-anak akan diberi pahala, tetapi pahala puasanya diberikan kepada orang tua yang telah dengan susah payah mengajarkanya tersebut. Simak redaksi berikut:

ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺑﻄﺎﻝ - ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ - ( ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺗﻠﺰﻡ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻭ ﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ ﻭﻟﻜﻦ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﺳﺘﺤﺴﻨﻮﺍ ﺗﺪﺭﻳﺐ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺭﺟﺎﺀ ﺍﻟﺒﺮﻛﺔ ﻭﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﻨﻬﻢ ﻣﺄﺟﻮﺭ ﻭﻷﻧﻬﻢ ﺑﺎﻋﺘﻴﺎﺩﻫﻢ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺗﺴﻬﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺇﺫﺍ ﻟﺰﻣﺘﻬﻢ

Ibnu Batthol berkata ulama' sepakat (ijam') bahwa anak yang belum baligh tidak diwajibkan ibadah dan melakukan kefarduan kecuali bila sudah baligh akan tetapi mayoritas ulama' menganggap baik atas latihan ibadah yang dilakukan anak belum baligh karena mengharapkan keberkahan . dan orang yang orang tua yang melakukan tersebut (menyuruh anaknya melakukan latihan puasa) itu diberikan pahala dikarenakan sebab kebiasaan ibadah yang dilakukan anak belum baligh itu menyebabkan dia mudah melakukan ibadah disaat dirinya (anak) sudah diwajibkan melakukan ibadah (yaitu disaat baligh) wallahu a'lam

Umdatul qori' syarah shohih bukhari 17/16

( ﺑﺎﺏ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ )
ﺃﻱ ﻫﺬﺍ ﺑﺎﺏ ﻓﻲ ﺑﻴﺎﻥ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻫﻞ ﻳﺸﺮﻉ ﺃﻡ ﻻ ﻭﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ ﻭﺍﺳﺘﺤﺐ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﺑﻦ ﺳﻴﺮﻳﻦ ﻭﺍﻟﺰﻫﺮﻱ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺃﻧﻬﻢ ﻳﺆﻣﺮﻭﻥ ﺑﻪ ﻟﻠﺘﻤﺮﻳﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﺃﻃﺎﻗﻮﻩ
ﻭﺣﺪ ﺫﻟﻚ ﻋﻨﺪ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺑﺎﻟﺴﺒﻊ ﻭﺍﻟﻌﺸﺮ ﻛﺎﻟﺼﻼﺓ ﻭﻋﻨﺪ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺣﺪﻩ ﺍﺛﻨﺘﻲ ﻋﺸﺮﺓ ﺳﻨﺔ ﻭﻋﻨﺪ ﺃﺣﻤﺪ ﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻋﺸﺮ ﺳﻨﻴﻦ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ ﺇﺫﺍ ﺃﻃﺎﻕ ﺻﻮﻡ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﺗﺒﺎﻋﺎ ﻻ ﻳﻀﻌﻒ ﻓﻴﻬﻦ ﺣﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺸﺮﻉ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺑﻄﺎﻝ ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺗﻠﺰﻡ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﻭﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ ﺇﻻ ﺃﻥ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﺳﺘﺤﺴﻨﻮﺍ ﺗﺪﺭﻳﺐ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺭﺟﺎﺀ ﺍﻟﺒﺮﻛﺔ ﻭﺃﻧﻬﻢ ﻳﻌﺘﺎﺩﻭﻧﻬﺎ ﻓﺘﺴﻬﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺇﺫﺍ ﺃﻟﺰﻣﻬﻢ ﻭﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﺑﻬﻢ ﻣﺄﺟﻮﺭ ﻭﻓﻲ ( ﺍﻷﺷﺮﺍﻑ ) ﺍﺧﺘﻠﻔﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺆﻣﺮ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺑﺎﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﻜﺎﻥ ﺍﺑﻦ ﺳﻴﺮﻳﻦ ﻭﺍﻟﺤﺴﻦ ﻭﺍﻟﺰﻫﺮﻱ ﻭﻋﻄﺎﺀ ﻭﻋﺮﻭﺓ ﻭﻗﺘﺎﺩﺓ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﻳﺆﻣﺮ ﺑﻪ ﺇﺫﺍ ﺃﻃﺎﻗﻪ

Kurang lebih maksud dari ta’bir diatas adalah
Tidak disyariatkan berpuasa selain mu’min yang sudah baligh, Ibnu Sirin, Az-Zuhriy, menghukumi sunnat, karena Imam Syafi’i berpendapat sesungguhnya mereka diperintahkan memerintakan berpuasa bila sudah mampu untuk melaksanakan puasa.

Adapun batasannya menurut ashabus-syafi’i sama dengan batasan umur sholat yaitu antara 7-10 tahun, sedang menurut Ibn Ishaq adalah 12 tahun, namun menurut madzhab maliki anak kecil tidak disyariatkan untuk berpuasa. Ibn Bathal berpendapat tidak di syariatkan untuk melakukan ibadah wajib (apalagi sunnat) namun ibadahnya adalah dalam rangka pendidikan semata mata mengharap berkah agar ketika sudah baligh ia mudah untuk melakukan ibadah kepada Allah

Demikian maksud singkat dari ta’bir panjang yang ada di atas tersebut. Semoga bermanfaat untuk menjadikan refrensi, masih banyak lagi keterangan-keterangan yang menyangkut dengan puasanya anak kecil. Baca juga makna i’tikaf

SAlah Kaprah Membangunkan Sahur

Dua momentum dalam sahur yang tak pernah luput kemeriahannya dengan pengeras suara, yaitu momentum buka puasa dan makan sahur. Di masjid-masjid pada saat jelang buka puasa ramai didengungkan kalimat-kalimat thoyyibah seperti sholawat, do’a bersama, membaca al Quran dan bahkan pada saat saya dipesantren dulu, sebelum buka puasa didahului dengan kajian kitab tertentu.

Makan sahur menjadi ibadah yang bernilai sunnah, bahkan dalam beberapa hadits Nabi saw sangat menganjurkan untuk tidak meninggalkan makan sahur, sebagai contoh hadits Nabi Saw yang mengnjurkan untuk tidak meninggalkan makan sahur meskipun hanya seteguk air.
السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى المُتَسَحِّرِينَ
“Sahur adalah makanan yang berkah. maka jangan kalian meninggalkannya sekalipun hanya dengan minum seteguk air. sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat kepada orang-orang yang sahur.

Semakna dengan hadits di atas, bahwa sahur mengandung keberkahan adalah
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat keberkahan
Momentum yang lain adalah jelang makan sahur. Berkaitan sahur ini ada hal yang mungkin salah kaprah membangunkan sahur. Terkesan adanya panggilan yang menggebu-nggebu agar seseorang mempercepat makan sahur, padahal menurut fiqh, mengakhirkan makan sahur hukumnya sunnat. Namun fatanya jam dua kumandang makan sahur sudah bertalu talu. Tapi ada baiknya juga yaitu membangunkan untuk persiapan masak bagi ibu-ibu untuk makan sahur

Adapun dalil yang dapat dijadikan patokan sebagai hukum disunnahkannya mengakhirkan sahur di antaranya adalah;
Hadits dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata,
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِينَ آيَةً.
“Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, ”Berapa lama jarak antara adzan Shubuh[8] dan sahur kalian?” Zaid menjawab, ”Sekitar membaca 50 ayat, Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikatakan, “Sekitar membaca 50 atau 60 ayat.”

Berkaitan dengan hadits di atas Ibnu Hajar berpendapat, “Maksud sekitar membaca 50 ayat adalah waktu makan sahur yang tidak terlalu lama dan tidak terlalu cepat.” Sedangkan Imam al-Qurthubi mengatakan, “Hadits ini adalah dalil bahwa batas makan sahur adalah sebelum terbit fajar.”

Makna I'tikaf

Pengetian i’tikaf, secara etimologi atau secara bahasa makna i’tikaf berarti diam atau menetap di dalam suatu tempat, sedangkan menurut istilah I’tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid disertai dengan niat i’tikaf, tentunya di dalam melakukan amalan-amalan syar’i yang dianjurkan oleh syara’ baik yang bersifat wajib maupun bersifat sunnat. Waktu i’tikaf ada banyak perbedaan tetapi lazimnya adalah berdian diri melebihi tuma’ninah sholat, bisa jadi sehari atau kurang atau bahkan lebih. Semakin lama maka semakin baik, karena semakin banyak pula amalan baik yang dikerjakannya. Pendek kata waktu i’tikaf bisa dilaksanakan satu atau dua jam, tetapi batas maksimalnya tidak ditentukan

Pelaksanaan i’tikaf kapan saja baik siang maupun malam, tetapi sangat dianjurkan pada bulan Ramadhan, hal ini tidak aneh karena bulan Ramadhan adalah bulan mulia penuh ampunan dan rahmat dari Allah swt. Seperti itu pula disitir dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ اْلعَشَرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Bahwa Nabi saw melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim]

Berdiam diri dimana? Yang dimaksud berdiam diri untuk memperbanyak amalan baik adalah di dalam masjid jami’ atau masjid yang dipakai oleh orang orang setempat melksanakan sholat lima waktu secara rutin, begitulah pendapat Hanafiyah, atau lebih mudahnya untuk mencirikan masjid jami’ adalah masjid yang biasa dipakai untuk pelaksanaan sholat jumat. Berdasarkan hadits riwayat Abu Daud

" ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع ـ رواه أبو داود.
"Dan tiada I'tikaf kecuali di masjid jami' (H.R. Abu Daud)
I’tikaf harus dilakukan dalam keadaan akil baligh dan suci dari hadats kecil dan hadats besar. I’tikaf lebih dianjurkan lagi disaat-saat 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, sebagai puncak dari ibadah puasa wajib yang ditaklifkan kepada orang-orang mukmin dewasa.

Adapun Hikmah i’tikaf adalah, melatih diri dan mengendalikan emosi serta nafsu, mengingat masjid adalah tempat pendidikan ruh yang paling tepat. Dengan berdiam diri di masjid lebih memungkinkan seseorang untuk termotifasi berbuat baik dan menjauhkan diri dari riuh rendah bising duniawi, masih banyak lagi hikmah i’tikaf yang didapat. Demikian uodate ceramah singkat kali ini, nantikan update selanjutnya